Selasa, 26 Februari 2013

sejarah hutang indonesia

Tugas Softskill Akuntansi Internasional

Definisi bantuan luar negeri Indonesia

Bantuan sering didefinisikan sebagai setiap pemindahan sumber dari Negara kaya kepada Negara miskin, yang oleh Negara pemberi disebut sebagai bantuan, dalam arti setiap pemindahan yang keefektifannya dinilai secara umum dalam ukuran manfaat bagi pihak penerima.
Bantuan dari Negara-negara kaya kepada Negara-negara miskin yang tercermin dalam istilah pemindahan sumber-sumber (flow of resources) terdiri dari :
1. Pemindahan sumber-sumber resmi (flow of official resources), antara lain berupa :
- pemindahan secara bilateral, yaitu : grants (pemberian), sumbangan yang menyerupai grants, modal pemerintah dalam jangka panjang.
- Pemindahan secara multilateral, yaitu : grants dan iuran modal kepada badan-badan pembangunan internasional dan pemberian hutang kepada badan-badan itu termasuk pembelian obligasi.

2. Pemindahan sumber-sumber swasta (flow of private resources), antara lain berupa :
- Investasi langsung swasta (foreign direct investment), Investasi portofolio (portfolio investment), pinjaman bank komersial (commercial bank lending), dan kredit ekspor (exports credit).

1.1 Latar Belakang Timbulnya Bantuan Luar Negeri

Dewasa ini hampir tidak ada Negara yang hanya mengandalkan sumber-sumber dana hanya dari dalam negeri saja untuk membiayai pembangunannya. Banyak sekali faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, antara lain :

1. Motivasi Negara Penerima Bantuan

Negara-negara donor memberikan bantuannya pertama-tama karena hal tersebut memang untuk kepentingan politik, strategis dan/atau ekonomi mereka. Walaupun ada juga beberapa bantuan itu yang didorong oleh alasan-alasan moral dan kemanusiaan untuk membantu Negara-negara yang kurang beruntung tanpa mengharapkan imbalan. Namun secara garis besar ada 2 motivasi :

a. Motivasi Politik

Motivasi politik merupakan motivasi yang paling penting bagi Negara-negara pemberi bantuan. Bantuan luar negeri pertama-tama harus dilihat sebagai tangan panjang kepentingan Negara-negara donor. Motivasinya condong berbeda tergantung situasi nasional dan bukan semata-mata dikaitkan dengan kebutuhan Negara penerima yang secara potensial berbeda-beda antara Negara yang satu dengan Negara yang lain.
Sebagaimana ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, bagian D, Arah danKebijaksanaan Pembangunan, ayat 12 sebagai berikut:
“ Dalam rangka memperlancar pembangunan, maka pinjaman dari luar negeri hanya dapat diterima sepanjang pinjaman-pinjaman tersebut tidak dikaitkan dengan ikatan-ikatan politik, sedangkan syarat-syarat pinjaman tidak akan memberatkan dan dalam batas-batas kemampuan untuk pembayaran kembali sedangkan penggunaan pinjaman tersebut haruslah untuk proyek-proyek produktif yang bermanfaat “.

b. Motivasi Ekonomi

Dalam konteks prioritas strategi dan politik yang luas, program bantuan luar negeri Negara-negara maju mempunyai rasional ekonomis yang kuat. Dalam kenyataannya walaupun motivasi politik mungkin merupakan yang utama, namun landasan yang bersifat ekonomis paling tidak merupakan “lip-service” untuk membenarkan motivasi memberikan bantuan.
Argumentasi ekonomi yang penting dan telah dikemukakan oleh pandangan yang mendukung bantuan luar negeri adalah sebagai berikut :
1. Sumber daya keuangan dari luar (pinjaman dan hibah) dapat memainkan peranan yang masuk akal dalam melengkapi kelangkaan sumber daya dalam negeri guna mengejar target tabungan, investasi, dan devisa.
2. Bantuan luar negeri diberikan oleh Negara donor dalam rangka mempercepat proses pembangunan, yang nantinya akan menghasilkan tambahan tabungan dalam negeri sebagai akibat dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Secara bertahap, akhirnya bantuan luar negeri akan berkurang dan lenyap.
3. Bantuan keuangan perlu dilengkapi dengan bantuan teknik dalam bentuk transfer of knowledge pada manpower untuk menjamin bahwa dana tersebut akan digunakan secara efisian untuk dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
4. Akhirnya, jumlah bantuan harus ditentukan sesuai dengan kapasitas menyerap Negara penerima bantuan, suatu euphemism untuk mengatakan kemampuannya menggunakan bantuan secara bijaksana dan produktif.
Argumentasi ekonomi yang mengatasnamakan bantuan luar negeri sebagai obat yang sifatnya crusial untuk pembangunan Negara-negara berkembang harus tidak menutupi kenyataan bahwa bahkan pada ekonomi yang ketat sekalipun, keuntungan akan mengalir ke Negara-negara pemberi bantuan sebagai hasil dari program-program bantuan mereka.meningkatnya tendensi ke arah pemberian pinjaman yang sebaliknya, tidak lagi pemberian hibah secara langsung, tetapi dengan ikatan bantuan kepada ekspor dari Negara-negara pemberi bantuan, telah menambah beban yang lebih berat kepada Negara-negara penerima bantuan dalam membayar kembali utang-utangnya yang besar. Disamping itu, juga akan menaikkan ongkos impor, seringkali sebanyak 20% sampai 40%. Biaya impor ekstra ini meningkat karena adanya bantuan yang dikaitkan dengan ekspor Negara-negara penerima bantuan untuk berbelanja barang-barang modal dan setengah jadi, yang harganya mungkin lebih murah di Negara lain bukan pemberi bantuan.

2. Motivasi Negara Penerima Bantuan

Dalam Negara yang sedang berkembang selalu berkeinginan untuk menerima bantuan, bahkan dalam bentuk yang kurang lunak sekalipun. Setidak-tidaknya ada 3 alasan mengapa Negara yang sedang berkembang mencari bantuan luar negeri, yaitu :
a. Alasan yang utama dan yang penting lebih merupakan alasan secara praktis dan konseptual bersifat ekonomis. Karena Negara yang sedang berkembang cenderung mempercayai pendapat ahli ekonomi Negara-negara maju. Yaitu bahwa bantuan luar negeri merupakan obat pendorong dan stimulan bagi proses pembangunan, turut membantu mengalihkan struktur ekonomi serta membantu Negara yang sedang berkembang mencapai take off menuju pertumbuhan ekonomi yang mandiri (self sustaining). Pada hakekatnya Negara yang sedang berkembang menghendaki bantuan lebih banyak dalam bentuk hibah atau pinjaman dengan tingkat bunga yang rendah dan tidak terikat dengan ekspor Negara pemberi bantuan.
b. Alasan kedua adalah, menyangkut masalah politik. Dibeberapa Negara, baik Negara penerima maupun Negara donor, bantuan dipandang sebagai alat yang dapat memberikan kekuatan politik yang lebih besar kepada pemimpin yang sedang berkuasa untuk menekan oposisi dan mempertahankan kekuasaannya.dalam hal ini, bantuan tidak saja berbentuk transfer sumber keuangan, akan tetapi juga dalam bentuk bantuan militer dan pertahanan dalam negeri.
c. Alasan ketiga adalah, motivasi yang dilandasi oleh moral, yaitu, apakah berlatarbelakang pada rasa tanggungjawab kemanusiaan Negara kaya terhadap kesejahteraan Negara miskin, atau karena kepercayaan, bahwa Negara-negara kaya merasa berhutang budi karena eksploitasi dimasa penjajahan dahulu. Sehingga bantuan luar negeri merupakan kewajiban social bagi Negara-negara kaya untuk pembangunan Negara-negara miskin.


1.2 Latar Belakang Timbulnya Bantuan Luar Negeri di Indonesia

Kondisi ekonomi dan politik Indonesia mengalami kondisi yang tidak stabil pada periode 1950-1965, kondisi tersebut disebabkan oleh karena kebijaksanaan pemerintah lebih difokuskan kepada politik dalam negeri dan masalah militer, sehingga sangat kecil perhatian dan sumber daya yang dicurahkan untuk pembangunan ekonomi.
Kesulitan dalam anggaran membuat inflasi menjadi masalah utama, ditambah kesulitan dalam sistem nilai tukar yang mengurangi keuntungan sektor perdagangan, menyebabkan penyusutan. Sementara, pemberontakan serentak di Sumatera dan Sulawesi tahun 1958 menyebabkan anggaran untuk militer membengkak, padahal penerimaan ekspor dari dua pulau tersebut yang merupakan sumber daya penting menurun. Monetisasi anggaran defist menaikkan rata-rata inflasi dari 17% menjadi 25% di tahun 1950-57. pada periode selanjutnya kenaikan inflasi semakin meninggi setiap minggunya, dan mencapai 65% dalam tahun 1966. pertumbuhan ekonomi yang lambat, 0,8% per tahun, dan evolusi rasio ekspor/PDB jatuh dari 8,7% (1951-57) ke 6,8% (1958-61) dan menjadi 1,1% (1962-65) menjelaskan situasi perekonomian pada waktu itu. Pendapatan masyarakat rata-rata per kapita hanya US $80 dan hutang luar negeri yang harus dibayar berjumlah US $ 2.2 miliar. Ketidakstabilan politik memperburuk ketidakstabilan ekonomi sehingga mempercepat perpindahan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Jendral Soeharto.
Tugas yang dibebankan oleh rakyat kepada pemerintah baru ini berdasarkan TAP XXIII/MPR/1966, dalam program jangka pendek berupa pengendalian inflasi, pencukupan kebutuhan pangan,rehabilitasi prasarana perekonomian, dan peningkatan kegiatan ekspor. Tugas ini memberikan konsekuensi diperlukannya dana yang besar, sementara dana yang dapat diharapkan dari sumber-sumber dalam negeri antara lain hasil ekspor, yang pada saat itu berada di keadaan yang tidak memungkinkan.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut maka pada tahun 1966 pemerintah Indonesia telah mengambil kebijaksanaan untuk mengadakan konsolidasi, rehabilitasi, dan stabilisasi serta memutuskan untuk mengadakan pendekatan ke luar negeri dengan maksud :
1) Mengadakan penjadwalan kembali hutang-hutang lama,
2) Mengusahakan bantuan-bantuan keuangan yang baru dari luar negeri untuk mendukung neraca pembayaran Indonesia,
3) Berusaha menarik penanaman modal asing ke Indonesia.

Sebagai realisasi kebijaksanaan tersebut, atas prakarsa pemerintah Jepang dalam bulan September 1966 diadakan pertemuan multilateral yang pertama di Tokyo, yang di kenal dengan Tokyo Club. Pertemuan itu dihadiri oleh IMF dan wakil-wakil dari Negara kreditor yang akan membicarakan masalah ekonomi dan keuangan yang dihadapi serta masalah hutang Indonesia.
Tokyo Club dilanjutkan dengan Paris Meeting pada bulan Desember 1966, yang berhasil mencapai kesepakatan kata untuk rescheduling pembayaran hutang lama, dilanjutkan dengan pertemuan di Denhaag atas prakarsa pemerintah Belanda, untuk membicarakan bantuan baru yang diperlukan Indonesia, pada bulan Februari 1967, dan kemudian pertemuan itu dikenal dengan Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Dalam pertemuan itu dihadiri oleh 11 negara anggota yaitu Australia, Amerika Serikat, Belgia, Belanda, Indonesia, Italy, Jerman Barat, Jepang, Inggris, Perancis, dan Kanada. Negara-negara yang hadir diluar anggota melainkan sebagai peninjau antara lain Austria, Denmark, Norwegia, Selandia Baru dan Swiss. Lembaga-lembaga Internasional yang hadir dan kemudian peranannya besar sekali dalam pelaksanaan bantuan kepada Indonesia adalah International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia (World Bank/IBRD), Asian Development Bank (ADB), United Nation Development Programme (UNDP), dan sebagai peninjau adalah OECD.
Pemerintah Indonesia telah menentuka kriteria pokok, dengan maksud untuk menyelaraskan dengan politik luar negeri yang bebas aktif sesuai dengan GBHN sebgai berikut :
1) Bahwa bantuan luar negeri tidak boleh dikaitkan dengan ikatan politik,
2) Bahwa syarat pembayaran harus dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali,
3) Bahwa penggunaan bantuan luar negeri haruslah untuk pembiayaan proyek-proyek yang produktif dan bermanfaat.

Forum IGGI ini merupakan suatu kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk menjelaskan program pelaksanaan pembangunan untuk masa mendatang serta hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya. Forum IGGI diadakan setiap tahun di Denhaag. Bantuan dalam rangka IGGI dimaksudkan sebagai dana pelengkap untuk dana pembangunan Indonesia, yang pada dasarnya pembangunan tersebut harus bersumber pada kemampuan dana dalam negeri.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam GBHN, TAP MPR-RI No.IV/MPR/1978, hal.18, antara lain dinyatakan :
“ Pembangunan nasional memerlukan investasi dalam jumlah yang besar, yang pelaksanaanya harus berlandaskan kemampuan sendiri, sedangkan bantuan luar negeri merupakan pelengkap. Oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana-dana investasi yang bersumber pada tabungan masyarakat, tabungan pemerintah serta pengerahan devisa yang berasal dari ekspor dan jasa-jasa. Pengerahan dari dana-dana investasi tersebut harus ditingkatkan dengan cepat sehingga peranan bantuan luar negeri merupakan pelengkap semakin berkurang dan pada akhirnya mampu membiayai sendiri seluruh pembangunan “.


1.3 Perkembangan Hutang Luar Negeri Indonesia

Sampai saat ini pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia yang terus meningkat adalah upaya guna menutup anggaran Negara yang selalu deficit kecuali tahun anggaran 1979/80 dan 1980/81. Hal ini terjadi karena sumber-sumber dana dalam negeri tidak mampu membiayai seluruh pembiayaan pembangunan, terutama masih rendahnya tabungan pemerintah.
Sejak tahun 1967 Indonesia telah menerima pinjaman dengan syarat lunak atau dalam bentuk sumbangan (grant) dari Negara-negara dan lembaga keuangan Internasional yang bergabung dalam IGGI. Tahun 1967 bantuan yang diterima berjumlah US$ 200 juta. Selama Pelita I pemerintah mengusahakan pinjaman berbentuk bantuan prigram yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan, serta bantuan proyek dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak, yaitu 3% setahun, waktu tenggang 7-10 tahun dan jangka waktu pelunasan 25-50 tahun atau dalam bentuk sumbangan.
Bantuan devisa kredit dan pangan merupakan sumber bagi pembiayaan barang modal, bahan baku, dan pangan yang diperlukan untuk menstabilkan ekonomi. Bantuan proyek berbentuk pembiayaan untuk berbagai proyek prasarana di bidang ekonomi maupun social. Pinjaman pemerintah yang disetujui dalam tahun 1968 berjumlah US$ 292,3 juta dan bantuan proyek US$ 71,0 juta. Dari bantuan program itu US$ 188.9 juta terdiri dari devisa kredit dan US$ 103,4 juta berupa pangan. Sedangkan dalam tahun 1968 itu bantuan proyek masih jauh lebih kecil daripada bantuan program.
Sampai dengan 1974/75 persetujuan pinjaman luar negeri pemerintah hanya berupa bantuan program dan bantuan proyek yang bersyarat lunak. Dengan pertimbangan hendak mempercepat laju pertumbuhan, pemerintah sejak 1974/75 mulai menjajaki kemungkinan memperoleh pinjaman dengan syarat yang kurang lunak. Usaha tersebut direalisasikan dalam tahun 1975/76 dengan disetujuinya pinjaman proyek dengan persyaratan setengah lunak komersial sebesar US$ 2.316,4 juta yang terutama berbentuk kredit ekspor. Pinjaman proyek bersyarat setengah lunak dan komersial kemudian turun menjadi US$ 719,7 juta pada tahun 1973/74-1974/75 telah mengganggu posisi neraca pembayaran, sehingga untuk memperkuat cadangan devisa sangat diperlukan pinjaman tunai. Untuk tujuan tersebut maka dalam tahun 1975/76 telah diadakan persetujuan pinjaman tunai sebesar US$ 4.503 juta. Selanjutnya sejak 1978/79 Indonesia juga telah memasuki dunia keuangan internasional melalui penerbitan obligasi dan kertas-kertas berharga lainnya serta pinjaman komersial, sehingga pada tahunterakhir Pelita II pinjaman tunai berjumlah US$ 536.4 juta. Dengan demikian jumlah seluruh pinjaman pemerintah pada 1978/79 menjadi US$ 2.933,0 juta, hal dimana berarti bahwa selama Pelita II pinjaman luar negeri tiap tahun bertambah dengan rata-rata 27,8%. Pada tahun 1978/79 peranan bantuan turun menjadi 3,8% dari total pinjaman, bantuan serta pinjaman bersyarat setengah lunak dan komersial untuk proyek naik 77,9% dan peranan pinjaman tunai mencapai 18,3%.
Selama Pelita III persetujuan pinjaman pemerintah meningkat pada tahun 1983/84 menjadi US$ 4,528,6 juta. Dari jumlah pinjaman pemerintah tersebut, maka 49,6% berbentuk pinjaman bersyarat lunak, 20,2% berupa pinjaman proyek dengan syarat setengah lunak dan komersial, dan 30,4% berbentuk pinjaman tunai.
Perkembangan pinjaman luar negeri pada Repelita IV menunjukkan kenaikan yang cukup mencolok, terutama pada tahun 1985/86 dengan jumlah pinjaman luar negeri yang naik sebesar 15,5%, yaitu dari US$ 4.579,1 juta tahun 1984/85 menjadi US$ 5.289,4 juta pada tahun 1986/87. Dan selama tiga tahun pertama pelaksanaan Repelita V, persetujuan (commitment) pinjaman luar negeri pemerintah adalah sebesar US$ 6.753.2 juta pada tahun 1989/90, naik menjadi US$ 7.067,1 juta pada tahun 1990/91 dan meningkat lagi menjadi US$ 7.853,9 juta pada tahun 1991/92.
Dari bantuan luar negeri yang di terima pemerintah sejak Repelita I, dan yang terbesar di terima dari lima besar yaitu Amerika Serikat (IDA, World Bank, Bantuan Program, Food Aid, dan Technical Assistance, Asian Development Bank (ADB)), Jepang (OECF, JEXIM, JICA), Belanda dan Jerman Barat yang jumlahnya mencapai US$ 82,8% dari jumlah yang di terima selama Repelita I yang keseluruhannya mencapai US$ 3.487,3. Hingga saat ini Lima Besar tersebut merupakan Negara-negara yang memberikan bantuan tersbesar.

1.4 Pelunasan Hutang Luar Negeri

Indonesia tercatat hanya satu kali meminta rescheduling pembayaran hutang-hutang lamanya, yaitu pada masa awal Orde Baru, berdasarkan rekomendasi Dr. Herman J Abs, sebagai berikut:
a) Pokok hutang (US$ 1,7 milyar) akan dibayar kembali dalam jangka waktu 30 tahun (1970-1999),
b) Untuk penanggulangan ini tidak dikenakan bunga baru (moratorium),
c) Bunga yang lama (US$ 400 juta) akan di bayar kembali dalam 15 tahun mulai tahun 1985,
d) Selama 8 tahun pertama sebagian dari jumlah yang seharusnya di bayar dapat ditangguhkan sampai 8 tahun terakhir dari periode 30 tahun tersebut,
e) Sesudah tahun 1980 akan diadakan peninjauan kembali dan tergantung kepada keadaan ekonomi Indonesia waktu itu maka pembayaran kembali dapat dipercepat atau sebaliknya dapat pula pembayaran bunga dikurangi atau dihapuskan.

Kata sepakat yang tercapai mengenai rescheduling ini, kemudian dituangkan dalam persetujuan bilateral dengan masing-masing Negara. Dalam persetujuan bilateral ini, Indonesia memegang teguh prinsip non-diskriminasi.
Sehingga sejak tahun 1970-an pemerintah telah mulai mengangsur pelunasan hutang-hutang luar negeri (hutang sebelum dan sesudah tahun 1966) sesuai dengan perjanjian / persyaratan yang telah ditetapkan. Dalam hubungan ini pemerintah senantiasa berusaha memenuhi kewajiban dalam pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri sesuai dengan jadwal waktu pembayaran yang telah ditetapkan.
Pada kenyataannya, sejak tahun 1985, prestasi Indonesia sebagai peminjam yang baik, yang selalu tepat waktu dalam membayar cicilan hutangnya, dicapai dengan menyedot sumber dana dari dalam negeri dalam bentuk transfer netto modal keluar. Pembayaran cicilan tersebut dapat dilakukan tepat waktu dengan cara menekan pengeluaran dalam negeri pemerintah, ‘surplus’ dari hasil pengetatan konsumsi dalam negeri dan pengeluaran pemerintah itulah yang dipergunakan untuk ‘membiayai’ cicilan hutang dan transfer netto modal keluar. Pembayaran hutang luar negeri membawa dampak yang cukup besar terhadap pengeluaran netto pemerintah, yaitu total pengeluaran dikurangi cicilan hutang. Pengetatan pengeluaran pemerintah dan usaha-usaha meningkatkan pendapatan pajak belum berhasil meningkatkan pengeluaran netto pemerintah sejak tahun 1985 karena beban cicilan hutang yang semakin besar.
Ketika pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri semakin meningkat, dan pemerintah mengetatkan pengeluarannya, maka jalan yang ditempuh adalah dengan mengurangi investasinya secara sistematis, mengambil langkah untuk mengurangi berbagai jenis subsidi, dan mendorong partisipasi swasta dalam pendanaan dan implementasi proyek-proyek pembangunan. Untuk menarik minat investasi swasta, pemerintah telah melakukan berbagai pentederhanaan regulasi dan birovestasi.
Pada sisi pendapatan, pemerintah juga telah melakukan reformasi system perpajakan sejak tahun 1984. sebagai akibat dari perbaikan sistem perpajakan tersebut, telah terjadi pengingkatan pajak non-minyak bumi yang cukup berarti. Sebagian besar dari peningkatan pajak tersebut berasal dari peningkatan pajak nilai tambah (VAT) terutama pajak nilai tambah terhadap konsumsi produk-produk minyak bumi.
Salah satu aspek penting yang bisa mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk membayar cicilan hutang adalah struktur pemilikan hasil ekspor Indonesia. Sejak tahun 1986, telah terjadi perubahan struktur pemilikan pendapatan ekspor Indonesia. Sebelum tahun 1986, sebagian besar ekspor Indonesia, berasal dari ekspor migas, sehingga pendapatan ekspor menjadi milik pemerintah Indonesia. Setelah tahun 1986, makin besar porsi ekspor non-migas dalam keseluruhan ekspor Indonesia. Hanya sebagian kecil dari pendapatan ekspor non-migas yang masuk ke kas Negara melalui mekanisme perpajakan. Perubahan struktur pendapatan ekspor tersebut mempunyai implikasi terhadap kemampuan pemerintah dalam membayar cicilan hutang karena pendapatan pemerintah dari ekspor migas semakin kecil, diperlukan pengetatan pengeluaran dan peningkatan pajak yang relative lebih besar. Hal ini merupakan dilemma baru buat pemerintah Indonesia.


1.7 Beban Hutang Luar Negeri Indonesia

Indikator yang umum digunakan untuk mengukur beban hutang luar negeri dalam hubungannya dengan ekonomi nasional ialah debt service ratio (DSR), yaitu perbandingan antara pembayaran setiap tahun cicilan hutang luar negeri beserta bunganya (pemerintah dan swasta) dengan penerimaan ekspor bruto dalam tahun yang bersngkutan. Menurut Sumitro Djojohadikusumo dengan perkiraan CPS memperhitungkan angka DSR Indonesia dengan memasukkan variable penerimaan jasa (credit post) terutama dari pariwisata (yang terus meningkat) pada penerimaan ekspornya, selain migas dan non-migas. Hasilnya DSR Indonesia sudah mencapai 36,8 bahkan naik menjadi 40,7 pada tahun 1988. meingkatnya DSR ini disebabkan karena sudah banyaknya hutang-hutang lama yang jatuh tempo, disamping karena jatuhnya harga minyak bumi selama tahun 1986 dan tertekannya harga komoditi primer lainnya, serta perkembangan nilai mata uang dollar Amerika terhadap yen Jepang dan Mark Jerman (Currency Realignment). Perubahan nilai tukar dollar AS terhadap mata uang kuat Negara-negara lain berimplikasi pada :
1) Menyebabkan turunnya harga-harga (dalam dollar AS) ekspor utama Negara-negara industri. Disamping itu, indeks biaya impor Negara-negara berkembang (dalam dollar AS) juga mengalami penurunan. Ini terlihat selama periode 1980-85.
2) Bagi Indonesia ketidakseimbangan dari komposisi (share) mata uang dalam ekspor dan impor berarti melemahkan terms of trade, sebab antara 80-90% perolehan didominasi dalam mata uang dollar AS.
3) Pengaruhnya bagi nilai hutang luar negeri Indonesia sampai akhir tahun 1985, lebih kurang 60% dari pembayaran hutang luar negeri Indonesia dilakukan dengan mta uang non dollar AS.

Beban hutang yang sedemikian besar merupakan adalah kecenderungan yang terjadi dibeberapa Negara berkembang. Bagi Indonesia, dampak dari angka DSR yang terus membesar dapat menimbulkan tekanan masalah, terutama jika diikuti dengan kesalahan dalam upaya penanggulangan deficit neraca pembayaran. Angka beban kewajiban pembayaran hutang ini pada dasarnya mencerminkan hubungan antara ketiga komponen dalam neraca pembayaran, yaitu neraca lalu lintas barang, lalu lintas jasa, dan lalu lintas modal.
Sementara itu menurut Sritua Arief dan Adi Sasono, kendatipun indicator DSR dapat dipergunakan sebagai petunjuk mengenai sampai seberapa jauh beban hutang luar negeri sudah dapat dianggap kritis dalam hubungannya dengan perkembangan ekonomi nasional, indikator ini dianggap sebagai indikator yang sangat sederhana. Oleh karena indicator ini semata-mata didasarkan kepada variabel-variabel transaksi hubungan ekonomi internasional dan tidak secara langsung mempertimbangkan variabel-variabel makro didalam negeri. Menurut mereka, selain dengan DSR, sebaiknya memperhitungkan juga variabel-variabel ekonomi dalam negeri untuk mengukur beban hutang luar negeri suatu Negara. Untuk itu mereka memakai formulasi yang dikemukakan oleh Liviatan dan Massad. Liviatan mengemukakan suatu indicator yang lebih komprehensif dengan memperhitungkan variabel-variabel ekonomi didalam neheri seperti investasi dan konsumsi. Menurut Liviatan, dua kondisi dasar yang harus dikandung oleh suatu pendekatan makro mengenai penentuan indicator beban hutang luar negeri suatu Negara ialah :
1) Indikator itu bersifat kuantitatif,
2) Indikator itu dapat menunjukkan titik yang kritis diatas titik dimana suatu Negara diramalkan akan menunda pembayaran hutang luar negeri atau menjadwalkan kembali pembayaran hutang luar negerinya.
Dengan dua langkah tersebut, indikator beban hutang luar negeri diformulasikan sebagai berikut :
Dt
Bt =
Zt
Dimana Bt = Beban hutang luar negeri tahun t, angka kritis menunjukkan angka 1. dengan kata lain, nilai maksimal beban hutang luar negeri (Bt) yang dapat ditanggung oleh suatu Negara ialah 1.Dt = pembayaran cicilan dan bunga hutang luar negeri pada tahun t.
Dengan memodifikasi formulasi di atas Sritua Arief dan Adi Sasono memperhitungkan beban hutang luar negeri Indonesia, berdasarkan data BPS, ternyata diperoleh untuk Indonesia, B1985 = 1,24 dan B1986 = 1.37. Ini berarti bahwa beban hutang luar negeri Indonesia sudah melampaui angka kritis, yaitu lebih dari 1.
Sementara itu Massad memperhitungkan biaya riil cicilan dan bunga hutang luar negeri akibat terjadinya perubahan dalam terms of trade dengan rumus :
Dt (1-Lt)
Qt =
Lt
Dimana Dt = jumlah pembayaran cicilan dan bunga hutang luar negeri tahun t, dan Lt = indeks terms of trade.
Berdasarkan rumus diatas, dengan menggunakan data t.o.t dengan basis tahun 1983, pembayaran cicilan hutang luar negeri sektor resmi pemerintah beserta bunganya dan besar nilai hutang luar negeri sektor resmi yang sudah digunakan pada setiap tahun, diperoleh angka surcharge positif sebesar 0,5% pada tahun 1984, 1,02% untuk tahun 1985 dan sebesar 9,03% di tahun 1986. Angka-angka ini menunjukkan bahwa Indonesia telah terpaksa menggunakan lebih banyak sumber-sumber ekonominya untuk melaksanakan pembayaran cicilan hutang luar negeri beserta bunganya di sektor resmi pemerintah.

1.8 Kondisi Overborrowing

Menurut catatan Bank Dunia total hutang luar negeri Indonesia sampai tahun 1990 berjumlah US$ 67,908 milyar (World Development Report, 1992 : 258). Hal ini berarti terjadi kenaikan hampir tiga kali dalam 10 tahun terakhir (1980-1990). Maka, bila pada 1984 Indonesia merupakan Negara ke-6 terbesar di dunia dalam jumlah hutang (WDR 1986 : 208), pada tahun 1990 Indonesia menduduki posisi ke-4. Bahkan pada akhir tahun 1991 jumlah hutang luar negeri Indonesia telah meningkat menjadi US$ 78 milyar, jumlah ini terdiri dari hutang sector pemerintah (termasuk BUMN) kira-kira US$ 55 milyar dan hutang sector swasta US$ 23 milyar (Wadhana,1992).
Besarnya hutang luar negeri Indonesia dewasa ini dikhawatirkan dapat menjerumuskan Indonesia ke dalam Debt Crisis seperti yang pernah dialami oleh Negara Meksiko, Brazil, dan Argentina (MBA). Sekitar awal 80-an, dimana mereka tidak mampu lagi memenuhi kewajiban pembayaran hutang. Kondisi Debt Crisis yang dialami Negara-negara tersebut disebabkan karena hutang luar negeri mereka yang di atas ambang batas (Overborrowing). Bila terjadi sesuatu terhadap perekonomian internasional, seperti kenaikan tingkat bunga secara tiba-tiba, maka perekonomian Negara-negara yang overborrowing sangat berpengaruh.
Parameter yang sering dipakai dalam mengukur kondisi overborrowing ini adalah Debt Service Ratio (DSR) dengan ukuran normal 20%. Menurut John Williamson indicator overborrowing lainnya adalah Debt Export Ratio (DER), yaitu perbandingan antara jumlah hutang luar negeri dengan ekspor, ukuran yang baik adalah kurang dari 200%, dan Debt GNP Ratio (DGNPR), yaitu perbandingan antara jumlah hutang luar negeri dengan GNP, ukuran yang baik adalah berada dibawah 40%. Di bawah ini data Indikator Overborrowing Hutang Luar Negeri Indonesia selama 1985-1990 :

Tahun Total Hutang
(juta dolar AS) DSR
(1) DER
(2) DGNPR
(3)
1985 36,750 29,6% 181,9% 45,0%
1986 43,117 35,7% 268,8% 60,3%
1987 52,581 37,8% 278,4% 80,9%
1988 52,600 43,7% 246,6% 69,0%
1989* 53,111 35,2% 210,7% 59,4%
1990* 67,908 30,9% 229,4% 66,4%

Note : * Tahun 1989 dan 1990 berasal dari World Development Report, 1992 ; 1991.
SUMBER : World Debt Tables, 1989-1990, dikutip dari Faruk Abdullah Alwy, “Hutang Luar Negeri Indonesia : Antara Debt Trap dan Debt Crisis”, Republika, 10 Juni 1993, hal. 4.

Dari data di atas terlihat bahwa sejak 1985 hutang luar negeri Indonesia mulai mendekati kondisi Overborrowing, dimana dua indicator yang ada, DSR dan DGNPR telah melawati batas toleransi, dan pada tahun 1986 hutang luar negeri Indonesia praktis telah overborrowing dan kondisi tersebut berlanjut sampai akhir tahun 1991, bahkan menurut data terakhir, tahun 1991 DGNPR Indonesia meningkat menjadi 71,7%. Sampai akhir 1992, ketiga indicator tersebut belum ada kecenderungan untuk menurun, bahkan terus bertambah jika melihat ketergantungan Indonesia kepada hutang luar negeri (DSR pada akhir 1992 mencapai 32%).
Semakin meningkatnya perbandingan antara total hutang dengan GNP, seperti yang ditunjukkan oleh indicator DGNPR menunjukkan bahwa pertambahan hutang luar negeri terus melampaui kemampuan produksi Indonesia. Ditambah hasil ekspor Indonesia yang seharusnya dapat lebih memacu pertumbuhan ekonomi, justru harus ditransfer lagi untuk membayar cicilan hutang dan bunga yang terus membesar. Meskipun begitu Indonesia oleh Bank Dunia tidak dianggap sebagai Negara yang “sarat hutang” melainkan hanya dianggap Negara yang “berhutang sedang”. Dengan demikian otomatis Indonesia tidak dikhawatirkan mengalami Debt Crisis. Bahkan Indonesia terus diberikan pinjaman besar disamping pujian terhadap perekonomiannya. Dalam hal ini yang perlu di perhatikan adalah bahwa kasus Debt Crisis pada Negara-negara MBA, terjadi ketika mereka menyatakan ketidakmapuannya untuk membayar hutang. Jadi, penilaian Debt Crisis tidak dinilai dari beban hutang Negara debitur maupun besarnya hutang, melainkan dilihat dari ketaatan suatu Negara untuk membayar cicilan hutangnya. Karena itu selama cicilan hutang plus bunganya selalu ditaati oleh Indonesia, maka tidak akan disebut sebagai Negara yang mengalami Debt Crisis, bahkan disebut sebagai good borrowers (peminjam yang baik).



 sumber :
http://kartikautami27.blogspot.com/2011/05/bantuan-luar-negeri-indonesia.html

Sabtu, 23 Februari 2013

Sejarah dan politik Pertanian di Indonesia



SEJARAH DAN POLITIK PERTANIAN

I. LATAR BELAKANG
Jalan panjang yang telah ditempuh bangsa Indonesia untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang lebih adil dan mensejahterakan seluruh rakyat, dapat dikatakan berawal dengan mencari alternatif terhadap ekonomi liberal zaman kolonial (1830 – 1870).
Sebagai diketahui sistem kapitalisme Eropah meluas ke Benua Asia dan Afrika dalam wujud kolonialisme, sesuai dengan sifat kapitalisme yang ekspansif.
Pertimbangan ekonomi – politik ekspansi tersebut ialah guna menguasai sumber-sumber kekayaan alam, tenaga murah dan pasaran yang sangat potensial karena ratusan juta penduduk, serta kesediaan tanah yang luas. (E. Wallerstein, 1974, Rutgers, 1937).
Disamping terjadinya eksploitasi tenaga kerja manusia (J. C. Breman, 1987) yang sudah melampaui batas-batas perikemanusiaan, meluasnya ekonomi uang ke dalam masyarakat pedesaan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat tersebut, sehingga ketergantungan dari perekonomian kita semakin kuat.
Terhadap eksploitasi petani dan buruh perkebunan tadi, sejak awal abad ke-20 mulai timbul oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga “Politik Etnik” (1900) mulai diterapkan dengan memberikan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa yang lebih besar (1906).
Di jajaran birokrasi Hindia–Belanda yang dipimpin oleh orang-orang Belanda juga, untungnya terdapat tokoh-tokoh yang progresif juga dan ajaran-ajaran sosial demokrat memasuki masyarakat kita (Rutgers, 1937).
Perluasan kesempatan pendidikan membuka peluang bagi putera-puteri pribumi untuk mengenal dasar-dasar Demokrasi Barat yang memang tumbuh bersamaan dengan Liberalisme dan Kapitalisme.
Tetapi di Eropa pengendalian “Kapitalisme dini” (vroeg-kapitalisme) sudah mulai menjelang abad ke-19, dan kaum sosial-demokrat diseluruh Eropa Barat memegang peranan penting dalam usaha ke arah membangun suatu negara sejahtera (welfare state).
Lebih-lebih setelah perang dunia pertama (1914 – 1918) dan krisis ekonomi dunia (1930) politisi dan pakar ekonomi Barat semakin yakin bahwa pemerintah mempunyai peranan penting dalam turut mengawasi perputaran roda ekonomi, apabila kesejahteraan rakyat ingin diciptakan secara merata.
Sistem hukum, baik yang membatasi monopoli dan oligopoli, maupun yang mengatur hak buruh dan kewajiban para pemodal dikembangkan, agar segi-segi negatif kepitalisme dapat ditiadakan, atau paling tidak dikurangi dampaknya.
 
II. BANGKITNYA NASIONALISME
Sebenarnya bangkitnya Nasionalisme terjadi di seluruh Asia, sejalan dengan perkembangan di Eropa tadi. Gerakan dipimpin oleh para cendekiawan di India, Tiongkok, Jepang, Asia Tenggara dan sebagainya, yang memahami Demokrasi, dan terlebih setelah perang Jepang–Rusia (1904 – 1905) yang untuk pertama kali dalam sejarah dimenangkan oleh satu bangsa Asia. Kesadaran inilah yang kemudian bagaikan angin taufan, mengembus di seluruh benua Asia dan menumbuhkan partai-partai nasional (Congres Party, Kuomintang, Sarekat Islam dan lain-lain).
Nasionalise yang mencari alternatif kehidupan politik, ekonomi dan sosial tersebut hampir diseluruh daerah jajahan di Asia sedikit banyak merangkul sosialisme (Tjondrongoro, 1996, Wertheim, 1959).
Lebih khusus di Indonesia (Blumbergerm, 1931, Rutgers, 1937) pendekar-pendekar nasional kita seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ir. Maruto Darusman, Syahrir dan masih lebih banyak lagi menggali nilai-nilai keadilan, kesamarataan, kesejahteraan rakyat dan sebagainya karena suatu proses yang mengakar terhadap penjajahan dan ketidakadilan.
Pengaruh sosialisme tersebut secara paling jelas dikemukakan oleh Bung Karno dalam pidatonya mengenai Marhaenisme (1957) dan kemudian bahkan dijadikan kebijaksanaan : Sosialisme ala Indonesia.
Unsur-unsur tersebut di atas yang dimuat dalam UUD 1945 maupun berbagai UU antara lain No. 5/1960 tercermin dari kebijaksanaan sampai 1965.
Setelah perkembangan ekonomi tidak mampu melahirkan kesejahteraan yang diidamkan, dan masalah pertanahan juga tak berhasil dipecahkan, dicarilah jalan keluar yang lain. Sistem ekonomi yang antara 1958 – 1965 cendderung tertutup untuk modal asing dibuka kembali dan dengan ketenangan/stabilitas politik tatanan ekonomi dapat diatur kembali dengan bantuan Bank Dunia dan negara-negara di luar blok Sosisalis.
Pertumbuhan ekonomi meningkat juga karena sektor swasta diberi peluang lebih besar disamping BUMN, tetapi dalam periode Orde Baru setelah kita menghadapi pasaran dunia yang semakin terbuka ternyata BUMN semakin tidak sffisien dan kurang mampu menunjang kesejahteraan yang lebih merata.
BUMN yang dimodali pemerintah mampu menumbuhkan suatu lapisan menengah, tetapi seberapa jauh mereka juga menunjang perusahaan-perusahaan yang lebih kecil dan sehat masih sangat dipertanyakan.
 
III. KOOPERASI
Dari latar belakangnya dapat disimak bahwa gerakan kooperasi lahir dari keinginan meningkatkan kesejahteraan jutaan pengusaha semasa Sarekat Islam (1912), bahkan sebelumnya.
Dalam gerakan ini memang ada unsur politik juga, ialah lebih membantu masyarakat pribumi dan ikatan batin melalui agama Isalam.
Pecahnya Sarekat Isalam menjadi yang Merah dan Hijau, menunjukkan bertapa ideologis sosialis, yang berpihak pada rakyat kecil, mewarnai unsur politik tadi.
Setelah Indonesia merdeka kooperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang paling sesuai untuk Indonesia dan ideologi Pancasila pun sudah sepenuhnya menggarisbawahi anggaran dasar tersebut. (Hatta, 1962). Sejak tahun 198… bahkan didirikan suatu Departemen Koperasi secara khusus, karena sebelumnya masih digabung dengan Departemen Transmigrasi, yang sebagai diketahui, membantu golongan petani lemah di luar Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani berskala lebih besar. Ini satu jenis distribusi tanah pertanian berskala relatif kecil.
Setelah koperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang dihadapi adalah kekurangan modal, manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran antara lain karena turut pedagang perantara.
Ada kalanya pula pemerintah terlalu memanfaatkan koperasi sebagai satuan usaha ditingkat bawah untuk melaksanakan program pemerintah. Misalnya diawal tahun 1960-an dalam program Bimas. Manajemen ditangan lurah tidak selalu baik dan pilihan komoditi padi sebagai usaha koperasi belum tentu tepat. Akhirnya koperasi dirasakan sebagai “paksaan” sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi BUUD.
Sampai sekarang pun, setelah 30 tahun pembangunan, koperasi bertambah jumlahnya, tetpai bukan effisiensinya, dan akibatnya kesejahteraan rakyat belum terangkat dengan koperasi.  

IV. KEMISKINAN BERKURANG
Menurut angka-angka Statistik berbagai sumber kemiskinan telah berkurang secara spektakuler sejak 1970-an dan kita bersyukur ada proyek-proyek yang dapat menarik tenaga kerja cukup banyak. Faktor lain adalah ketersediaan kredit (KUK, KIK, KMKP dll), tetapi semua itu dalam rangka industrialisasi dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi belum mampu mencapai “Full employment”. Definisi pengangguran terbuka BPS tidak realistik ataupun manusiawi, dan definisi pengangguran terselubung yang lebih realistik melahirkan presentase yang tinggi, serta akan bertahan – kalau tidak meningkat sampai tahun 2019.
Setelah kemiskinan di tekan sampai 11% (kl 22 juta orang) di Pelita VI, mencapai golongan miskin yang tersebar dan merupakan inti (care poverty) semakin sulit. Pemberian kredit saja mungkin belum cukup untuk mengentaskan kemiskinan, mungkin sebagian tetap pharus disubsidi oleh pemerintah mengingat bahwa persaingandiberbagai sektor ekonomi akan bertambah tajam. Subsidi pemerintah bagi simiskin sebenarnya adalah protekdi terhadapnya.  

V. EKONOMI PANCASILA DAN BERBAGAI LIBERALISASI
Yang menjadi pertanyaan; prinsip-prinsip dasar apa yang perlu melandasi Ekonomi Pancasila agar mekanisme pasar dalam Ekonomi Liberal dapat dikendalikan demi melindungi simiskin ?.
Jawabannya sebenarnya adalah Welfare State dengan ekonomi yang terkendali melalui : Sistem perpajakan yang progresif; pembagian asset yang lebih merata; menciptakan kesejahteraan kerja yang memadai, dibantu “public invesment” bila perlu; tingkat upaya/gaji yang mencukupi, dan semua itu tentu bersendi pada sistem hukum. Sistem monopoli, oligopoli dan sebagainya tak dibenarkan agar kesenjangan sosial tidak melebar.
Semua faktor yang disebut diatas rupanya belum atau baru sebagian terwujud, sehingga Ekonomi Pancasila rupanya harus mampu merealisasikan idam-idaman tersebut dalam suasana/sistem liberalisasi global. Apa yang harus dilakukan untuk merubah sistem ekonomi dewas ini, itulah sudah menjurus ke arah pembangunan Ekonomi Pancasila.
Pertumbuhan ekonomi harus diiringi dengan industrialisasi, dimana ada keseimbangan antara sektor industri padat modal dan industri padat karya, mengingat bahwa tingkat teknologi yang mampu kita serap maupun kualitas SDM kita dewasa ini masih perlu ditingkatkan. Sudah jelas bahwa kebijakan tersebut dimaksudkan untukmengurangi pengangguran pada umumnya. Menurut proyeksi Aris Ananta (1995) pengangguran kita masih akan bertambah sampai tahun 2020.
Kalaupun pemerataan belum sepenuhnya tercapai keadaan “Full employment” (£4% pengangguran, berdasarkan definisi yang manusiawi), akan mengurangi kesenjangan, meningkatkan produktivitas pada umumnya dan mempertebal rasa keadilan dalam masyarakat.
Konsep Welfare State tampaknya lebih mencerminkan sasaran yang diunggulkan dalam Negara Pancasila. Karena itu selama liberasisasi global yang dewasa ini berkembang sejalan dengan Welfare State, tampaknya masih dapat kita terima.
Individu dan persaingan bebas yang tajam,semata-mata mengikuti hukum pasar seperti yang dikenal dalam tahap “kapitalisme didi”, sangat berlawanan dengan dasar-dasar Ekonomi Pancasila.
VI. EKONOMI RAKYAT
Istilah Rakyat sebenarnya mencakup segenap bangsa Indonesia, tetapi sejak zaman penjajahan usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat berpijak pada golongan rakyat yang lemah. Masyarakat yang miskin itu dominan hidup dari pertanian dan menghadapi perusahaan-perusahaan raksasa Eropa misalnya dalam perkebunan besar, sehingga timbul penindasan dan penghisapan atas usaha rakyat kecil itu.
Lebih dari setengah abad setelah Indonesia merdeka rakyat kecil yang relatif merana itu masih berjumlah puluhan juta orang masih lebih dari penduduk Malaysia, hampir setengah penduduk Thailand dan sebagainya- dan merekalah yang ingin kita bantu. Dalam periode yang sama juga sudah tumbuh suatu golongan konglomerat, yang lebih gembira menyambut Era Globalisasi, dan kurang mempedulikan nasib rakyat kecil.
Keadaan ini yang ingin kita ralat, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan, pemerataan, mitra kerja, sejajar dan sebagainya. Caranya, sebagian telah dikemukakan tentu melalui sistem hukum, sistem pajak, yang progresif, perluasan kesempatan kerja dan cara-cara lainnya yang sesuai dengan proses demokratisasi menuju “masyarakat modern” (civil sosiety). Dalam ekonomi klasik abad ke-18 pun sebenarnya prinsip-prinsip tersebut sudah dikemukakan oleh John Stuart Mill dan John Locke. Variant ekonomi kapitalisme gaya A. Smith atau R. Malthus, yang dapat ditarik ke gagasan Alfred Marshall seabad kemudian, tampaknya tidak serasi dengan pengertian globalisasi abad ke-21 nanti.
Tahap pengentasan kemiskinan yang kita masuki dalam menghapus “core poverty” tampaknya tetap tidak bisa mengesampingkan peranan pemerintah, bukan hanya sebagai pelindung, tetapi juga sebagai pemberi kredit, bahkan subsidi untuk jangka waktu lebih dari satu-dua masa Pelita.
Jadi prinsip-rinsip ekonomi Pancasila tidak boleh memperburuk nasib golongan lemah dan miskin, justru sebaliknya peningkatan muru hidup golongan lemah dan miskin harus mengurangi dan bila mungkin meniadakan kesenjangan antara lapisan dalam masyarakat. Keadilan dan pemerataan kesejahteraan akhirnya adalah terwujudan Demokrasi Pancasila. Inilah suatu alternatif baru terhadap Demokrasi Barat, apabila kita berhasil menciptakannya.
Singkatnya bila Ekonomi Pancasila mencakup prinsip-prinsip dasar, Ekonomi Rakyat adalah pengejawantahan dan operasionalisasinya sehingga ketimpangan dan kesenjangan antara lapisan sosial ditiadakan.

pembiayaan Agribisnis



PEMBIAYAAN AGRIBISNIS 

PENDAHULUAN
Departemen Pertanian menaruh prihatin terhadap pembiayaan agribisnis di Indonesia. Keprihatinan itu disebabkan beberapa alasan:
Pertama, tidak adanya lembaga keuangan yang khusus menangani pembiayaan pertanian.
Kedua, realisasi Kredit Ketahanan Pangan (KKP) untuk para petani masih rendah, tidak sesuai rencana.
Ketiga, anggaran pembangunan nasional untuk sektor pertanian masih rendah. Dari Rp 47 triliun anggaran pembangunan dalam APBN, hanya Rp 6,6 triliun yang dialokasikan untuk pembangunan sektor pertanian. Padahal, alokasi dana APBN untuk rekapitalisasi perbankan saja mencapai Rp 60 triliun. Di lain pihak, keberpihakan lembaga keuangan formal terhadap sektor pertanian juga masih rendah. Bank lebih memperhatikan sektor industri. Tahun 2000, kredit perbankan kepada sektor pertanian hanya 6,2%, sementara untuk industri 34,2%, perdagangan 14,4%, dan jasa-jasa 37,4%.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Departemen Pertanian bertekad mencanangkan Gerakan Nasional Menabung untuk pembiayaan agribisnis yang diresmikan Presiden.
PENDANAAN
Ada kontradiksi, di satu sisi pembiayaan sektor pertanian mengalami kesulitan, di sisi lain BRI Unit Desa melalui Simpedes dan Simaskot berhasil mengumpulkan tabungan Rp 21 triliun. Namun, dari dana sebesar itu yang disalurkan kembali hanya Rp 11 triliun.
Sementara itu, penelitian Prof. Dr. Mubyarto di Lamongan, Jawa Timur menyimpulkan suatu hipotesa bahwa ratio PDRB sektor keuangan bank dengan non bank 1 : 50. Dana yang beredar pada lembaga keuangan non bank lima puluh kali lebih besar dibandingkan yang beredar pada lembaga keuangan bank. Sehingga, jumlah dana yang tersedia di masyarakat, baik yang terhimpun dalam lembaga keuangan bank maupun non bank secara hipotesis minimal berjumlah Rp 126 triliun.
Dari kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kita sebetulnya tidak kekurangan dana. Kita memiliki dana cukup, baik yang dikumpulkan melalui lembaga keuangan Bank maupun Non Bank.
Persoalan kita adalah Bukan Bagaimana Mengumpulkan Dana, Tetapi Bagaimana Mengakses Dana.
Namun demikian, gagasan mengadakan Gerakan Nasional Menabung untuk pembiayaan agribisnis bukanlah ide buruk, namun gerakan semacam itu harus disertai upaya memberdayakan petani kecil agar mampu mengakses sumber keuangan.
STRATEGI PEMBIAYAAN
Kita seringkali memilah sektor usaha ke dalam UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan Usaha Besar (konglomerat). Pemilahan ini berarti tersisihnya usaha mikro dari perhatian kita. Karena itu, kami mengusulkan agar istilah UKM diubah menjadi Usaha Kecil dan Mikro. Ini diperlukan untuk memberikan penekanan yang lebih besar pada pengembangan usaha mikro yang sering disebut sebagai ekonomi rakyat. Sementara usaha menengah, sesuai dengan karakteristiknya, lebih baik digabungkan dengan kelompok usaha besar: Usaha Menengah dan Besar (UMB).
Menurut PNM (Permodalan Nasional Madani) jumlah usaha mikro di Indonesia mencapai 34 juta unit, sementara usaha kecil mencapai 45.000 unit. Rata-rata kebutuhan dana untuk usaha mikro adalah Rp 1 juta per unit usaha sementara untuk usaha kecil sebesar Rp 50 juta, dan usaha menengah Rp 1,5 milyar.
Kategorisasi seperti ini sangat baik untuk digunakan dalam perumusan strategi pembiayaan agribisnis.
A. Usaha Kecil dan Mikro (UKM)
Pembiyaan agribisnis untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada, baik bank maupun non bank. LKM bank antara lain BRI Unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Saat ini BRI Unit Desa memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, semantara BPR tercatat berjumlah 2.500 unit. Dari kedua LKM ini saja sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang melayani pengusaha kecil dan mikro. LKM non bank adalah seperti koperasi simpan pinjam (59.441), Badan Kredit Desa (5.345), dan lembaga swadaya masyarakat (500), termasuk kelompok swadaya masyarakat (800.000). Jumlah LKM non bank ini jauh lebih besar dibandingkan dengan LKM bank.
Yang harus dilakukan sekarang ini adalah mendorong pengembangan LKM. Selama ini LKM non bank, selain koperasi, memiliki kesulitan dalam legitimasi operasionalnya. LKM non bank (kecuali koperasi) tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas atau beroperasi tanpa dasar hukum. Saat ini beberapa pihak di bawah koordinasi Bank Indonesia telah mempersiapkan RUU Keuangan Mikro untuk memberikan legitimasi keberadaan LKM. Karena itu, dalam rangka mencari solusi pembiayaan agribisnis, RUU KM ini perlu didorong lebih kuat agar mendapat perhatian pihak terkait, terutama DPR, untuk menjadi UU KM.
Untuk kelompok UKM ini, maka strategi pembiayaannya adalah melalui pola HBK (Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat) yang telah dikenalkan oleh Bank Indonesia tahun 1988, dan terbukti berjalan baik. Program HBK ini sangat menarik dan merupakan terobosan dimana bank melayani masyarakat kecil (melalui kelompok) yang tidak memiliki jaminan fisik dan kelembagaan formal. Pihak bank diuntungkan dalam hal:
a) mengurangi biaya transaksi, yang bila dilakukan sendiri-sendiri terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan nilai kredit yang diberikan;
b) melalui sistem collateral substitute berupa tanggung renteng dan adanya social pressure dalam kelompok memungkinkan terjaminnya keamanan kredit yang diberikan.
Bagi kelompok swadaya masyarakat (KSM) atau Kelompok Tani, adanya program HBK memungkinkan mereka berhubungan dengan bank, yang selama ini tidak ada akses ke sana.
Melalui program HBK dimungkinkan terjadinya kapitalisasi di perdesaan, apalagi dengan diberlakukannya sistem rasio tabungan : pinjaman sebesar 1 : 5. Dengan demikian telah membalikkan keadaan, keberadaan perbankan dianggap “menyedot” dana-dana dari desa ke kota. HBK merupakan langkah praktis yang terbaik dalam hal pelayanan keuangan mikro di Indonesia. Yang kini harus dilakukan adalah memperluas cakupan HBK ke semua wilayah Indonesia, dan menjadi bagian strategis dalam pembiayaan agribisnis.
Pola seperti ini bisa berjalan baik kalau didukung oleh kegiatan pendampingan. Sebetulnya, dalam hal ini PPL yang sudah ada saat ini menjalankan fungsi pendampingan ini. Namun, untuk menjaga keberlanjutan pendampingan tersebut, diperlukan terobosan baru melalui konsep Pendampingan Mandiri. Para PPL se-kecamatan bergabung dalam Lembaga Pendampingan Usaha Mikro (LPUM) yang menjadi penghubung antara kelompok swadaya masyarakat (Kelompok Tani) dengan bank. Perannya sebagai penghubung inilah pendamping memperoleh imbalan jasa yang dapat menopang hidupnya. Di sini PPL tidak hanya menggeluti teknis pertanian, tetapi juga mengembangkan usaha para petani. Untuk itu perlu upaya penguatan PPL dan kelembagaan LPUM dengan pelatihan dan pengorganisasian.
B. Usaha Menengah dan Besar (UMB)
Untuk Usaha Menengah dan Besar di sektor pertanian, strategi pembiayaannya antara lain dengan mengharuskan bank, baik itu bank pemerintah maupun swasta, agar mengalokasikan sebagian dari portofolio kreditnya (misalnya 20 - 30%) untuk agribisnis, dari hulu sampai hilir. Untuk mencapai hal ini, maka perlu ada dorongan yang kuat agar RUU Perkreditan yang sedang dipersiapkan di DPR saat ini segera diselesaikan.
Gagasan mendirikan bank khusus untuk pertanian, menurut kami tidak proporsional, karena pembiayaan agribisnis tidak bisa hanya ditangani satu bank, tetapi harus dilayani semua bank yang ada.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Dari ulasan singkat di atas dalam upaya menjamin tersedianya pembiayaan agribisnis secara efektif, dapatlah disampaikan Rekomendasi Kebijakan sebagai berikut:
1) Memberdayakan kelompok swadaya masyarakat dan kelompok tani menjadi lembaga keuangan mikro informal.
2) Memberdayakan PPL menjadi pendamping kelompok tani/kelompok swadaya masyarakat di bidang usaha dan pembiayaan, serta membentuk LPUM (Lembaga Pendampingan Usaha Mikro) di tingkat kecamatan.
3) Menerapkan pola HBK (Hubungan Bank dengan Kelompok) untuk menjamin pembiayaan usaha tani kecil.
4) Mengadakan Gerakan Nasional Tabungan untuk pembiayaan agribisnis.
5) Memastikan Lembaga Keuangan Bank mengalokasikan portofolio kredit untuk UKM (Usaha Kecil dan Mikro) dan UMB (Usaha Menengah dan Besar) di bidang agribisnis dengan memberlakukan Undang-Undang Perkreditan dan Undang-Undang Keuangan Mikro.