OTONOMI DAERAH DAN MASALAH PEMBANGUNANNYA
1. Otonomi Daerah
“Pengertian
Menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”
Otonomi Daerah adalah wewenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan umum bagi Provinsi,
Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi Daerah di Indonesia adalah suatu
pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah
kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan-perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan
MPR RI Nomor XV/MPR/1998.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 juga meletakkan dasar-dasar
sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah
tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah
atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di
daerah; dan
3. Tugas
Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut
serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah
Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat
atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Untuk mendukung
penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan
berdasarkan desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas pembantuan, perlu
diatur perimbangan keuangan yang diatur berdasarkan pembina tugas dan tanggung
jawab yang jelas antar tingkat pemerintah. Sebelumnya memang ada undang-undang
nomor 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antar negara dengan
daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Akan tetapi UU no.
32 tahun 1956 sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dalam mendukung
otonomi daerah yang telah berkembang pesat. Oleh karena itu dipandang perlu
menetapkan undang-undang yang mengaturnya yang terwujud dalam UU no. 25 tahun 1999.
2. Potensi Masalah Dalam
Pembangunan :
1) Undang-undang Otonomi
Daerah Masih Rentan
Pertama-tama,
pengguliran Undang-undang Otonomi Daerah itu sendiri mengandung masalah yang
cukup kompleks karena proses sosialisasi yang demikian singkat. Sementara itu
uji-uji coba yang dilakukan belum sempat dijadikan sebagai “feed back”
untuk melakukan revisi-revisi yang diperlukan. Harus diakui bahwa Undang-undang
Otonomi Daerah baru merupakan dokumen kesepakatan politik antara Lembaga
Tertinggi dan Tinggi Negara di tingkat Pusat sementara harus pula di akui bahwa
sistem politik dan kenegaraan kita masih memungkinkan terjadinya kesenjangan
aspirasi antara rakyat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sebagai contoh,
sementara pemerintah pusat mengartikan otonomi daerah sebagai pelimpahan hak,
wewenang dan tanggungjawab pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah, timbul berbagai interpretasi. Daerah-daerah yang kaya
menginterpretasikan sebagai otonomi dan desentralisasi yang menjurus kepada
faham federalisme bahkan di daerah seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan
Irian Jaya telah terlontar ide-ide untuk merdeka. Di sisi lain, daerah-daerah
yang miskin agak enggan menerima pelimpahan hak, wewenang dan tanggungjawab dan
tetap mempertanyakan sebarapa jauh Pemerintah Pusat tetap bisa memberikan
subsidi terhadap APBD-nya. Penerimaan konsep otonomi daerah ini bisa diterima
dalam ruang over dan under interpretation tersebut dengan kata
lain bisa saja diterima setengah-setengah atau dengan berbagai catatan dan
komfromi yang perlu dipertimbangkan.
2)
Ancaman Disintegrasi Bangsa
Sekalipun
peneyelenggara negara telah berusaha menegakan dan melestarikan Negara
Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI), namun masih terdapat ancaman, hambatan dan
gangguan terhadap keutuhan NKRI. Kemajemukan yang rentan konflik, kebijakan
yang terpusat dan berkesan otoriter serta pengaruh gejolak politik
internasional berpotensi menyuburkan bibit disintegrasi bangsa. Munculnya
gejala disintegrasi bangsa dan merebaknya berbagai konflik sosial di berbagai
daeran seperti yang terjadi di Maluku dapat menjadi gangguan bagi keutuhan
NKRI. Apabila tidak segera ditanggulangi, gejala ini dapat mengancam keberadaan
dan kelangsunngan hidup bangsa dan negara. Sementara itu di Daerah Istimewa Aceh
dan Provinsi Irian Jaya gejolak yang timbul lebih merupakan gerakan yang
mengarah kepada separatisme. Otonomi Daerah dilaksanakan dalam wadah dan
kerangka NKRI. Gejala-gejala di atas secara langsung maupun tidak membangkitkan
skeptisisme, ketidakpercayaan dan antipati terhadap proses otonomi daerah
sehingga proses otonomi daerah ibarat menantang arus. Bila arus skeptisisme,
ketidakpercayaan dan antipati itu sedemikian kuat maka besar kemungkinan akan
menghanyutkan proses dan realisasi otonomi daerah itu sendiri.
3)
Kapasitas
Administrasi Pemerintahan Daerah yang Belum Siap :
Pelimpahan hak,
wewenang dan tanggungjawab pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah tersebut dapat dibaratkan penyerahan “cek kosong”. Pemerintah Pusat
tidak lagi menetapkan prioritas, menyusun buku proram pembangunan serta
petunjuk-petunjuk pelaksanaan seperti di masa REPELITA. Padahal kapasitas
manajemen dan administrasi Pemerintah Daerah dinilai buruk dan tidak berkembang
di masa pmerintahan-pemeritahan sebelumnya, dan Pemerintah Daerah masih
wewariskan sistem dan sumberdaya manusia yang lama. Bagi daerah-daerah di pusat
pertumbuhan yang cukup maju mungkin tidak terlampau sulit dengan mengerahkan
sumberdaya manusia yang ada di daerahnya. Namun bagi daerah-daerah terpencil
dan masih terbelakang hal itu menjadi masalah besar dan membutuhkan waktu yang
lama untuk mengantisipasinya. Hingga saat otomi daerah digulirkan pun daerah
masih bergelut dengan masalah-masalah pokok dalam administrasi pembangunan
seperti perumusan tugas pokok; perumusan fungsi; perumusan struktur organisasi;
administrasi kepegawaian; administrasi keuangan; administrasi logistik;
administrasi perkantoran; hubungan kerja; dan lain sebagainya (Siagian, 1995).
Prasyarat otonomi/desentralisasi yang diajukan oleh Smith, 1979 -juga masih
relevan dipertanyakan, yaitu: mampukah menerima wewenang yang dilimpahkan;
mampukah melaksanakan fungsi/tugas pemerintahan; mampukah melaksanakan bidang
tugas administratif; dan mampukah mengumpulkan sumber pendapatan dari daerah.
Dengan adanya otonomi daerah hal-hal di atas sebagian besar harus mulai lagi
difikirkan dari awal dan sulit diperkirakan berapa lama bisa dituntaskan.
4)
Paradigma
Manajemen/Administrasi Pembangunan di Daerah Harus Berubah Secara Drastis:
Paradigma
manajemen pembangunan di era otonomi daerah jauh berbeda dengan di masa-masa
sebelumnya. Di masa lalu pemerintah daerah hanya memikirkan bagaimana
distribusi proses pembangunan sampai kepada rakyat berdasarkan alokasi anggaran
dari pusat, sementara masalah kebutuhan anggaran difikirkan oleh pusat.
Sehingga paradigma yang terbentuk adalah pemerintah daerah sebagai
administrator dan mengabdi kepada otoritas pusat. Pusat yang menilai
benar-salahnya pemerintah daerah mengadministrasi pembangunan. Di era otonomi
daerah, khususnya kota dan kabupaten yang menerima otonomi yang luas,
pemerintah daerah harus memfungsikan manajemen pembangunan secara lengkap,
mulai dari planning, staffing, directing, actuating, control and evaluation.
Hal ini diisyaratkan oleh Hilhorst (1980) sebagai mampu merencanakan produksi
barang dan jasa; mampu mengawasi dampak dari produksi barang dan jasa; dan
mampu mendorong pembangunan daerah sesuai dengan sumber-sumber yang tersedia.
Di
satu sisi pemerintah daerah dituntut kemampuannya untuk mengembangkan sumberdaya
ekonomi yang ada di daerahnya sehingga mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi
yang cukup memadai, di sisi lain pemerintah daerah juga di tuntut untuk mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya meliputi penyediaan lapangan kerja atau
kesempatan berusaha, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang terjangkau oleh
rakyat jelata, termasuk berbagai kemudahan dalam pelayanan-pelayanan publik.
Jadi pemerintah daerah harus secara simultan menerapkan strategi pertumbuhan
dan pemerataan (growth with equity) dengan basis ekonomi kerakyatan (peoples’
economy). Masalah yang dihadapi adalah mampukah pemerintah daerah dalam
waktu yang relatif singkat merubah paradigma pemerintahan dan perilaku aparat
yang government oriented menjadi public servant oriented; dari
paradigma government spending economy ke paradigma government
generating economy. Dengan kata lain mampu menerapkan kombinasi yang “pas”
antara konsep entrepreneurship (kewirausahaan) daerah dengan konsep
sistem kesejahteraan sosial (social welfare).
5) Sumberdaya Lokal yang Belum Memadai:
Sudah menjadi
kenyataan bahwa sebagai akibat dari sentralisme pembangunan sejak masa
penjajahan, masa Orde Lama, dan masa Orde Baru, terjadi dikotomi Jawa-Luar
Jawa, Pusat-Daerah, Kota-Desa dalam hal sumberdaya lokal meliputi sumberdaya
fisik dan sumberdaya manusianya. Hal ini menciptakan prakondisi yang
beranekaragam bagi tiap daerah dalam mengawali proses otonominya. Perhitungan
kasar menunjukan bahwa hanya empat propinsi yang kaya akan sumberdaya alam,
yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya yang mampu mandiri dalam
membiayai APBD-nya. Propinsi selebihnya membutuhkan subsidi berkisar 37,20%
(Jawa Timur) sampai 91,65% (dahulu Timor Timur).
Jalan yang disarankan bagi daerah yang belum mampu mandiri
adalah mengembangan kemitraan usaha (panership) antar pemerintah daerah
(dalam wadah perusahaan milik daerah) dan dunia usaha atau sektor bisnis.
Kendala yang dihadapi kemudian adalah sumberdaya manusia, karena daerah yang
miskin hampir identik dengan sumberdaya manusia yang masih rendah kualitasnya.
Selain itu modus operandi dari konsep kemitraan itu masih harus dicari
karena praktis daerah-daerah yang miskin hanya mampu mengkontribusi mungkin
lahan (yang belum siap pakai) dan tenaga kerja (yang mungkin belum terampil),
belum lagi masalah-masalah gejolak sosial yang menggejala dan mengganggu
aktivitas usaha. Dalam situasi seperti itu, adakah investor yang mau “menutup
mata” dari segala resiko kehilangan investasinya sementara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang bersangkutan juga tidak bisa menjamin ?
Karena itu berkaitan dengan sumberdaya lokal daerah untuk
berotonomi Smith (1979) mengajukan prasyarat yang perlu dipertanyakan lebih
dahulu, yaitu: apakah kondisi wilayah mendukung; apakah besar anggaran belanja memadai;
apakah ada/tidak ada/kurangnya ketergantungan keuangan dari luar; dan apakah
potensi dan kualitas personil yang ada memadai.
6) Ancaman Globalisasi :
Tanpa ada pilihan
lain Indonesia telah menyatakan keturutsertaannya dalam agenda globalisasi
Asia-Pasific Free Trade Area (AFTA) Tahun 2003 dan menyongsong Globalisasi
Tahun 2020. Hal itu sekali gus merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah
daerah dalam konteks otonomi daerah. Tapi tidak kecil pula pula ancaman yang
mungkin ditimbulkan khususnya bagi daerah-daerah yang masih lemah kemandirian
ekonominya.
Ancaman di atas
justru berakar dari sistem dan praktek perekonomian yang dianut sebelumnya,
yang sarat dengan sistem subsidi yang berasal dari sektor sumberdaya alam
(khususnya minyak bumi dan hutan) ke sektor-sektor lainnya (khususnya sektor
pertanian). Di sisi lain melimpahnya dana dari minyak bumi dan hutan telah
menyuburkan pula birokrasi ekonomi yang tidak efisien termasuk korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) yang bermuara pada ekonomi biaya tinggi (high cost
economy). Walhasil fenomena yang terjadi adalah lemahnya daya saing produk
dan jasa yang dihasilkan Indonesia hampir di semua sektor. Masih bisa di ingat,
manakala ekspor sumberdaya minyak dan gas bumi mulai merosot, muncul skenario
ekspor non-migas. Namun kemudian diterima kenyataan bahwa komoditi-komoditi
ekpor Indonesia bermutu jauh di bawah standar dan harganya tidak mampu bersaing
di pasar internasional. Di era otonomi daerah, meningkatkan efisiensi produksi
yang berdaya saing tinggi praktis harus difikirkan oleh pemerintah daerah,
termasuk pula sebagian dari sistem dan proses dari rantai tataniaga, yang
keduanya sudah sangat terbiasa (terbudaya; internalized) dengan subsidi
dan KKN di sana-sini. Pertanyaanya, kendatipun mempunyai peluang untuk
memanfaatkan globalisasi dan perdagangan bebas, mampukah pemerintah daerah,
dengan segala kelemahan yang telah diuraikan pada butir 1) sampai dengan 5) di
atas dan dalam waktu yang harus relatif singkat, mempersaingkan produk-produk
daerahnya di pasar internasional ? Untuk dipertanyakan saja visi mengenai hal
ini kepada rata-rata Walikota dan Bupati yang ada, rasanya masih cukup berat.
3.
Kesimpulan
a)
Agar suatu daerah
dapat berotonomi dengan baik diperlukan beberapa prasyarat, yaitu prasyarat
dari aspek pemerintahan, manajerial, dan potensi daerah.
b)
Undang-undang Otonomi
Daerah dan proses otonomi daerah di Indonesia relatif masih merupakan hal yang
baru dan belum tersosialisasi dengan matang. Undang-undangnya itu sendiri baru merupakan
dokumen kesepakatan politik yang dalam implementasinya masih dapat
dinterpretasikan berbeda-beda. Daerah-daerah yang kaya cendrung
menginterpretasikan sebagai kebebasan yang luas, yang menjurus kepada faham
federalisme. Daerah-daearah yang miskin cendrung membuat interpretasi tidak
jauh dari sistem desentralisasi terbatas seperti di masa lalu.
c)
Masalah-masalah
ketidakpuasan daerah yang sudah kronis sebagai akibat dari sistem sentralisasi
Orde Lama dan Orde Baru, serta gagalnya dicapai kesefahaman dan kesepakatan
terhadap interpretasi Undang-undang Otonomi Daerah, peraturan-peraturan
pelaksanaannya serta implementasinya di lapangan, dapat mengancam eksistensi
NKRI bahkan dapat menjurus kepada pemisahan diri (separatisme) khususnya bagi
daerah-daerah yang kaya.
d)
Hingga proses otonomi
daerah digulirkan sebagian besar daerah khususnya di luar Jawa masih bergelut
dalam masalah-masalah klasik administrasi pembangunan dan pemerintahan seperti
perumusan tugas pokok; perumusan fungsi; perumusan struktur organisasi;
administrasi kepegawaian; administrasi keuangan; administrasi logistik;
administrasi perkantoran; hubungan kerja; dan lain sebagainya. Berbagai
prasyarat dari aspek pemerintahan, manajerial, dan potensi daerah juga masih
perlu dipertanyakan. Karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa proses otonomi
daerah sulit dikatakan dapat berjalan mulus seperti yang diharapkan oleh
Pemerintah pusat.
e)
Karena harapan,
kesejahteraan dan kepuasan pelayanan rakyat sekarang lebih bertumpu kepada
pemerintah daerah, maka paradigma manajemen/administrasi pembangunan dan
pemerintahan di daerah harus berubah secara drastis. Di satu sisi manajemen
pemerintah daerah harus mampu mengembangan potensi ekonomi daerah (bervisi entrpreneurship),
di sisi lain harus mampu secara serta merta membangun kesejahteraan rakyat
secara merata atau mengadopsi strategi development with equity, di sisi
lain harus pula merubah orientasi dari orientasi “pemerintah” (government
oriented) menjadi orientasi “pelayan masyarakat” (public servant oriented).
f)
Sumberdaya lokal
untuk modal awal berotonomi secara potensial ada, namun masih mengandung
berbagai potensi masalah. Daerah-daerah yang kaya sekalipun seperti Aceh, Riau,
Kalimantan Timur, dan Irian Jaya masih menghadapi masalah khususnya potensi
sumberdaya manusia. Terlebih pada daerah-daerah yang miskin dan daerah yang
selama ini hidup dari subsidi Pemerintah Pusat. Di sisi lain saran hubungan
kemitraan antara daerah yang kaya dengan daerah miskin masih harus menemukan
konsep operasionalnya dan melampaui uji coba yang panjang.
g)
Sementara eksperimen
otonomi daerah sedang berjalan, globalisasi sudah di ambang pintu. Beberapa
indikator menunjukan bahwa daya saing harga berbagai komoditi Indonesia masih
lemah di pasar internasional dan hidup dari proteksi dan subsidi pemerintah.
Hal itu disebabkan oleh belum efisiennya sistem produksi dan tataniaga
disamping potensi sumberdaya manusia Indonesia juga rekatif belum siap
menghadapi globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar