Sabtu, 23 Februari 2013

Otonomi Daerah dan masalah pembangunannya



OTONOMI DAERAH DAN MASALAH PEMBANGUNANNYA
1.   Otonomi Daerah
“Pengertian Menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”
     Otonomi Daerah adalah wewenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan umum bagi Provinsi, Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
     Otonomi Daerah di Indonesia adalah suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan-perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998.

Undang-undang No. 5 Tahun 1974 juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1.     Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2.     Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
3.     Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.


     Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan yang diatur berdasarkan pembina tugas dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintah. Sebelumnya memang ada undang-undang nomor 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antar negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Akan tetapi UU no. 32 tahun 1956 sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dalam mendukung otonomi daerah yang telah berkembang pesat. Oleh karena itu dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengaturnya yang terwujud dalam UU no. 25 tahun 1999.

2.   Potensi Masalah Dalam Pembangunan :
1)   Undang-undang Otonomi Daerah Masih Rentan
     Pertama-tama, pengguliran Undang-undang Otonomi Daerah itu sendiri mengandung masalah yang cukup kompleks karena proses sosialisasi yang demikian singkat. Sementara itu uji-uji coba yang dilakukan belum sempat dijadikan sebagai “feed back” untuk melakukan revisi-revisi yang diperlukan. Harus diakui bahwa Undang-undang Otonomi Daerah baru merupakan dokumen kesepakatan politik antara Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara di tingkat Pusat sementara harus pula di akui bahwa sistem politik dan kenegaraan kita masih memungkinkan terjadinya kesenjangan aspirasi antara rakyat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sebagai contoh, sementara pemerintah pusat mengartikan otonomi daerah sebagai pelimpahan hak, wewenang dan tanggungjawab pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, timbul berbagai interpretasi. Daerah-daerah yang kaya menginterpretasikan sebagai otonomi dan desentralisasi yang menjurus kepada faham federalisme bahkan di daerah seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian Jaya telah terlontar ide-ide untuk merdeka. Di sisi lain, daerah-daerah yang miskin agak enggan menerima pelimpahan hak, wewenang dan tanggungjawab dan tetap mempertanyakan sebarapa jauh Pemerintah Pusat tetap bisa memberikan subsidi terhadap APBD-nya. Penerimaan konsep otonomi daerah ini bisa diterima dalam ruang over dan under interpretation tersebut dengan kata lain bisa saja diterima setengah-setengah atau dengan berbagai catatan dan komfromi yang perlu dipertimbangkan.


2)   Ancaman Disintegrasi Bangsa
     Sekalipun peneyelenggara negara telah berusaha menegakan dan melestarikan Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI), namun masih terdapat ancaman, hambatan dan gangguan terhadap keutuhan NKRI. Kemajemukan yang rentan konflik, kebijakan yang terpusat dan berkesan otoriter serta pengaruh gejolak politik internasional berpotensi menyuburkan bibit disintegrasi bangsa. Munculnya gejala disintegrasi bangsa dan merebaknya berbagai konflik sosial di berbagai daeran seperti yang terjadi di Maluku dapat menjadi gangguan bagi keutuhan NKRI. Apabila tidak segera ditanggulangi, gejala ini dapat mengancam keberadaan dan kelangsunngan hidup bangsa dan negara. Sementara itu di Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Irian Jaya gejolak yang timbul lebih merupakan gerakan yang mengarah kepada separatisme. Otonomi Daerah dilaksanakan dalam wadah dan kerangka NKRI. Gejala-gejala di atas secara langsung maupun tidak membangkitkan skeptisisme, ketidakpercayaan dan antipati terhadap proses otonomi daerah sehingga proses otonomi daerah ibarat menantang arus. Bila arus skeptisisme, ketidakpercayaan dan antipati itu sedemikian kuat maka besar kemungkinan akan menghanyutkan proses dan realisasi otonomi daerah itu sendiri.

3)   Kapasitas Administrasi Pemerintahan Daerah yang Belum Siap :
     Pelimpahan hak, wewenang dan tanggungjawab pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tersebut dapat dibaratkan penyerahan “cek kosong”. Pemerintah Pusat tidak lagi menetapkan prioritas, menyusun buku proram pembangunan serta petunjuk-petunjuk pelaksanaan seperti di masa REPELITA. Padahal kapasitas manajemen dan administrasi Pemerintah Daerah dinilai buruk dan tidak berkembang di masa pmerintahan-pemeritahan sebelumnya, dan Pemerintah Daerah masih wewariskan sistem dan sumberdaya manusia yang lama. Bagi daerah-daerah di pusat pertumbuhan yang cukup maju mungkin tidak terlampau sulit dengan mengerahkan sumberdaya manusia yang ada di daerahnya. Namun bagi daerah-daerah terpencil dan masih terbelakang hal itu menjadi masalah besar dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengantisipasinya. Hingga saat otomi daerah digulirkan pun daerah masih bergelut dengan masalah-masalah pokok dalam administrasi pembangunan seperti perumusan tugas pokok; perumusan fungsi; perumusan struktur organisasi; administrasi kepegawaian; administrasi keuangan; administrasi logistik; administrasi perkantoran; hubungan kerja; dan lain sebagainya (Siagian, 1995). Prasyarat otonomi/desentralisasi yang diajukan oleh Smith, 1979 -juga masih relevan dipertanyakan, yaitu: mampukah menerima wewenang yang dilimpahkan; mampukah melaksanakan fungsi/tugas pemerintahan; mampukah melaksanakan bidang tugas administratif; dan mampukah mengumpulkan sumber pendapatan dari daerah. Dengan adanya otonomi daerah hal-hal di atas sebagian besar harus mulai lagi difikirkan dari awal dan sulit diperkirakan berapa lama bisa dituntaskan.

4)   Paradigma Manajemen/Administrasi Pembangunan di Daerah Harus Berubah Secara Drastis:
Paradigma manajemen pembangunan di era otonomi daerah jauh berbeda dengan di masa-masa sebelumnya. Di masa lalu pemerintah daerah hanya memikirkan bagaimana distribusi proses pembangunan sampai kepada rakyat berdasarkan alokasi anggaran dari pusat, sementara masalah kebutuhan anggaran difikirkan oleh pusat. Sehingga paradigma yang terbentuk adalah pemerintah daerah sebagai administrator dan mengabdi kepada otoritas pusat. Pusat yang menilai benar-salahnya pemerintah daerah mengadministrasi pembangunan. Di era otonomi daerah, khususnya kota dan kabupaten yang menerima otonomi yang luas, pemerintah daerah harus memfungsikan manajemen pembangunan secara lengkap, mulai dari planning, staffing, directing, actuating, control and evaluation. Hal ini diisyaratkan oleh Hilhorst (1980) sebagai mampu merencanakan produksi barang dan jasa; mampu mengawasi dampak dari produksi barang dan jasa; dan mampu mendorong pembangunan daerah sesuai dengan sumber-sumber yang tersedia.
Di satu sisi pemerintah daerah dituntut kemampuannya untuk mengembangkan sumberdaya ekonomi yang ada di daerahnya sehingga mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai, di sisi lain pemerintah daerah juga di tuntut untuk mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya meliputi penyediaan lapangan kerja atau kesempatan berusaha, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang terjangkau oleh rakyat jelata, termasuk berbagai kemudahan dalam pelayanan-pelayanan publik. Jadi pemerintah daerah harus secara simultan menerapkan strategi pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity) dengan basis ekonomi kerakyatan (peoples’ economy). Masalah yang dihadapi adalah mampukah pemerintah daerah dalam waktu yang relatif singkat merubah paradigma pemerintahan dan perilaku aparat yang government oriented menjadi public servant oriented; dari paradigma government spending economy ke paradigma government generating economy. Dengan kata lain mampu menerapkan kombinasi yang “pas” antara konsep entrepreneurship (kewirausahaan) daerah dengan konsep sistem kesejahteraan sosial (social welfare).

5)   Sumberdaya Lokal yang Belum Memadai:
     Sudah menjadi kenyataan bahwa sebagai akibat dari sentralisme pembangunan sejak masa penjajahan, masa Orde Lama, dan masa Orde Baru, terjadi dikotomi Jawa-Luar Jawa, Pusat-Daerah, Kota-Desa dalam hal sumberdaya lokal meliputi sumberdaya fisik dan sumberdaya manusianya. Hal ini menciptakan prakondisi yang beranekaragam bagi tiap daerah dalam mengawali proses otonominya. Perhitungan kasar menunjukan bahwa hanya empat propinsi yang kaya akan sumberdaya alam, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya yang mampu mandiri dalam membiayai APBD-nya. Propinsi selebihnya membutuhkan subsidi berkisar 37,20% (Jawa Timur) sampai 91,65% (dahulu Timor Timur).

Jalan yang disarankan bagi daerah yang belum mampu mandiri adalah mengembangan kemitraan usaha (panership) antar pemerintah daerah (dalam wadah perusahaan milik daerah) dan dunia usaha atau sektor bisnis. Kendala yang dihadapi kemudian adalah sumberdaya manusia, karena daerah yang miskin hampir identik dengan sumberdaya manusia yang masih rendah kualitasnya. Selain itu modus operandi dari konsep kemitraan itu masih harus dicari karena praktis daerah-daerah yang miskin hanya mampu mengkontribusi mungkin lahan (yang belum siap pakai) dan tenaga kerja (yang mungkin belum terampil), belum lagi masalah-masalah gejolak sosial yang menggejala dan mengganggu aktivitas usaha. Dalam situasi seperti itu, adakah investor yang mau “menutup mata” dari segala resiko kehilangan investasinya sementara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bersangkutan juga tidak bisa menjamin ?

Karena itu berkaitan dengan sumberdaya lokal daerah untuk berotonomi Smith (1979) mengajukan prasyarat yang perlu dipertanyakan lebih dahulu, yaitu: apakah kondisi wilayah mendukung; apakah besar anggaran belanja memadai; apakah ada/tidak ada/kurangnya ketergantungan keuangan dari luar; dan apakah potensi dan kualitas personil yang ada memadai.



6)   Ancaman Globalisasi :
     Tanpa ada pilihan lain Indonesia telah menyatakan keturutsertaannya dalam agenda globalisasi Asia-Pasific Free Trade Area (AFTA) Tahun 2003 dan menyongsong Globalisasi Tahun 2020. Hal itu sekali gus merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah. Tapi tidak kecil pula pula ancaman yang mungkin ditimbulkan khususnya bagi daerah-daerah yang masih lemah kemandirian ekonominya.

     Ancaman di atas justru berakar dari sistem dan praktek perekonomian yang dianut sebelumnya, yang sarat dengan sistem subsidi yang berasal dari sektor sumberdaya alam (khususnya minyak bumi dan hutan) ke sektor-sektor lainnya (khususnya sektor pertanian). Di sisi lain melimpahnya dana dari minyak bumi dan hutan telah menyuburkan pula birokrasi ekonomi yang tidak efisien termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang bermuara pada ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Walhasil fenomena yang terjadi adalah lemahnya daya saing produk dan jasa yang dihasilkan Indonesia hampir di semua sektor. Masih bisa di ingat, manakala ekspor sumberdaya minyak dan gas bumi mulai merosot, muncul skenario ekspor non-migas. Namun kemudian diterima kenyataan bahwa komoditi-komoditi ekpor Indonesia bermutu jauh di bawah standar dan harganya tidak mampu bersaing di pasar internasional. Di era otonomi daerah, meningkatkan efisiensi produksi yang berdaya saing tinggi praktis harus difikirkan oleh pemerintah daerah, termasuk pula sebagian dari sistem dan proses dari rantai tataniaga, yang keduanya sudah sangat terbiasa (terbudaya; internalized) dengan subsidi dan KKN di sana-sini. Pertanyaanya, kendatipun mempunyai peluang untuk memanfaatkan globalisasi dan perdagangan bebas, mampukah pemerintah daerah, dengan segala kelemahan yang telah diuraikan pada butir 1) sampai dengan 5) di atas dan dalam waktu yang harus relatif singkat, mempersaingkan produk-produk daerahnya di pasar internasional ? Untuk dipertanyakan saja visi mengenai hal ini kepada rata-rata Walikota dan Bupati yang ada, rasanya masih cukup berat.






3.     Kesimpulan
a)   Agar suatu daerah dapat berotonomi dengan baik diperlukan beberapa prasyarat, yaitu prasyarat dari aspek pemerintahan, manajerial, dan potensi daerah.

b)   Undang-undang Otonomi Daerah dan proses otonomi daerah di Indonesia relatif masih merupakan hal yang baru dan belum tersosialisasi dengan matang. Undang-undangnya itu sendiri baru merupakan dokumen kesepakatan politik yang dalam implementasinya masih dapat dinterpretasikan berbeda-beda. Daerah-daerah yang kaya cendrung menginterpretasikan sebagai kebebasan yang luas, yang menjurus kepada faham federalisme. Daerah-daearah yang miskin cendrung membuat interpretasi tidak jauh dari sistem desentralisasi terbatas seperti di masa lalu.

c)    Masalah-masalah ketidakpuasan daerah yang sudah kronis sebagai akibat dari sistem sentralisasi Orde Lama dan Orde Baru, serta gagalnya dicapai kesefahaman dan kesepakatan terhadap interpretasi Undang-undang Otonomi Daerah, peraturan-peraturan pelaksanaannya serta implementasinya di lapangan, dapat mengancam eksistensi NKRI bahkan dapat menjurus kepada pemisahan diri (separatisme) khususnya bagi daerah-daerah yang kaya.

d)   Hingga proses otonomi daerah digulirkan sebagian besar daerah khususnya di luar Jawa masih bergelut dalam masalah-masalah klasik administrasi pembangunan dan pemerintahan seperti perumusan tugas pokok; perumusan fungsi; perumusan struktur organisasi; administrasi kepegawaian; administrasi keuangan; administrasi logistik; administrasi perkantoran; hubungan kerja; dan lain sebagainya. Berbagai prasyarat dari aspek pemerintahan, manajerial, dan potensi daerah juga masih perlu dipertanyakan. Karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa proses otonomi daerah sulit dikatakan dapat berjalan mulus seperti yang diharapkan oleh Pemerintah pusat.

e)   Karena harapan, kesejahteraan dan kepuasan pelayanan rakyat sekarang lebih bertumpu kepada pemerintah daerah, maka paradigma manajemen/administrasi pembangunan dan pemerintahan di daerah harus berubah secara drastis. Di satu sisi manajemen pemerintah daerah harus mampu mengembangan potensi ekonomi daerah (bervisi entrpreneurship), di sisi lain harus mampu secara serta merta membangun kesejahteraan rakyat secara merata atau mengadopsi strategi development with equity, di sisi lain harus pula merubah orientasi dari orientasi “pemerintah” (government oriented) menjadi orientasi “pelayan masyarakat” (public servant oriented).

f)    Sumberdaya lokal untuk modal awal berotonomi secara potensial ada, namun masih mengandung berbagai potensi masalah. Daerah-daerah yang kaya sekalipun seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya masih menghadapi masalah khususnya potensi sumberdaya manusia. Terlebih pada daerah-daerah yang miskin dan daerah yang selama ini hidup dari subsidi Pemerintah Pusat. Di sisi lain saran hubungan kemitraan antara daerah yang kaya dengan daerah miskin masih harus menemukan konsep operasionalnya dan melampaui uji coba yang panjang.

g)   Sementara eksperimen otonomi daerah sedang berjalan, globalisasi sudah di ambang pintu. Beberapa indikator menunjukan bahwa daya saing harga berbagai komoditi Indonesia masih lemah di pasar internasional dan hidup dari proteksi dan subsidi pemerintah. Hal itu disebabkan oleh belum efisiennya sistem produksi dan tataniaga disamping potensi sumberdaya manusia Indonesia juga rekatif belum siap menghadapi globalisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar