Tugas Softskill Akuntansi Internasional
Definisi bantuan luar negeri Indonesia
Bantuan
sering didefinisikan sebagai setiap pemindahan sumber dari Negara kaya
kepada Negara miskin, yang oleh Negara pemberi disebut sebagai bantuan,
dalam arti setiap pemindahan yang keefektifannya dinilai secara umum
dalam ukuran manfaat bagi pihak penerima.
Bantuan dari Negara-negara
kaya kepada Negara-negara miskin yang tercermin dalam istilah pemindahan
sumber-sumber (flow of resources) terdiri dari :
1. Pemindahan sumber-sumber resmi (flow of official resources), antara lain berupa :
-
pemindahan secara bilateral, yaitu : grants (pemberian), sumbangan yang
menyerupai grants, modal pemerintah dalam jangka panjang.
-
Pemindahan secara multilateral, yaitu : grants dan iuran modal kepada
badan-badan pembangunan internasional dan pemberian hutang kepada
badan-badan itu termasuk pembelian obligasi.
2. Pemindahan sumber-sumber swasta (flow of private resources), antara lain berupa :
-
Investasi langsung swasta (foreign direct investment), Investasi
portofolio (portfolio investment), pinjaman bank komersial (commercial
bank lending), dan kredit ekspor (exports credit).
1.1 Latar Belakang Timbulnya Bantuan Luar Negeri
Dewasa
ini hampir tidak ada Negara yang hanya mengandalkan sumber-sumber dana
hanya dari dalam negeri saja untuk membiayai pembangunannya. Banyak
sekali faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, antara lain :
1. Motivasi Negara Penerima Bantuan
Negara-negara
donor memberikan bantuannya pertama-tama karena hal tersebut memang
untuk kepentingan politik, strategis dan/atau ekonomi mereka. Walaupun
ada juga beberapa bantuan itu yang didorong oleh alasan-alasan moral dan
kemanusiaan untuk membantu Negara-negara yang kurang beruntung tanpa
mengharapkan imbalan. Namun secara garis besar ada 2 motivasi :
a. Motivasi Politik
Motivasi
politik merupakan motivasi yang paling penting bagi Negara-negara
pemberi bantuan. Bantuan luar negeri pertama-tama harus dilihat sebagai
tangan panjang kepentingan Negara-negara donor. Motivasinya condong
berbeda tergantung situasi nasional dan bukan semata-mata dikaitkan
dengan kebutuhan Negara penerima yang secara potensial berbeda-beda
antara Negara yang satu dengan Negara yang lain.
Sebagaimana
ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara,
bagian D, Arah danKebijaksanaan Pembangunan, ayat 12 sebagai berikut:
“
Dalam rangka memperlancar pembangunan, maka pinjaman dari luar negeri
hanya dapat diterima sepanjang pinjaman-pinjaman tersebut tidak
dikaitkan dengan ikatan-ikatan politik, sedangkan syarat-syarat pinjaman
tidak akan memberatkan dan dalam batas-batas kemampuan untuk pembayaran
kembali sedangkan penggunaan pinjaman tersebut haruslah untuk
proyek-proyek produktif yang bermanfaat “.
b. Motivasi Ekonomi
Dalam
konteks prioritas strategi dan politik yang luas, program bantuan luar
negeri Negara-negara maju mempunyai rasional ekonomis yang kuat. Dalam
kenyataannya walaupun motivasi politik mungkin merupakan yang utama,
namun landasan yang bersifat ekonomis paling tidak merupakan
“lip-service” untuk membenarkan motivasi memberikan bantuan.
Argumentasi
ekonomi yang penting dan telah dikemukakan oleh pandangan yang
mendukung bantuan luar negeri adalah sebagai berikut :
1. Sumber daya
keuangan dari luar (pinjaman dan hibah) dapat memainkan peranan yang
masuk akal dalam melengkapi kelangkaan sumber daya dalam negeri guna
mengejar target tabungan, investasi, dan devisa.
2. Bantuan luar
negeri diberikan oleh Negara donor dalam rangka mempercepat proses
pembangunan, yang nantinya akan menghasilkan tambahan tabungan dalam
negeri sebagai akibat dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Secara bertahap, akhirnya bantuan luar negeri akan berkurang dan lenyap.
3.
Bantuan keuangan perlu dilengkapi dengan bantuan teknik dalam bentuk
transfer of knowledge pada manpower untuk menjamin bahwa dana tersebut
akan digunakan secara efisian untuk dapat menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
4. Akhirnya, jumlah bantuan harus ditentukan
sesuai dengan kapasitas menyerap Negara penerima bantuan, suatu
euphemism untuk mengatakan kemampuannya menggunakan bantuan secara
bijaksana dan produktif.
Argumentasi ekonomi yang mengatasnamakan
bantuan luar negeri sebagai obat yang sifatnya crusial untuk pembangunan
Negara-negara berkembang harus tidak menutupi kenyataan bahwa bahkan
pada ekonomi yang ketat sekalipun, keuntungan akan mengalir ke
Negara-negara pemberi bantuan sebagai hasil dari program-program bantuan
mereka.meningkatnya tendensi ke arah pemberian pinjaman yang
sebaliknya, tidak lagi pemberian hibah secara langsung, tetapi dengan
ikatan bantuan kepada ekspor dari Negara-negara pemberi bantuan, telah
menambah beban yang lebih berat kepada Negara-negara penerima bantuan
dalam membayar kembali utang-utangnya yang besar. Disamping itu, juga
akan menaikkan ongkos impor, seringkali sebanyak 20% sampai 40%. Biaya
impor ekstra ini meningkat karena adanya bantuan yang dikaitkan dengan
ekspor Negara-negara penerima bantuan untuk berbelanja barang-barang
modal dan setengah jadi, yang harganya mungkin lebih murah di Negara
lain bukan pemberi bantuan.
2. Motivasi Negara Penerima Bantuan
Dalam
Negara yang sedang berkembang selalu berkeinginan untuk menerima
bantuan, bahkan dalam bentuk yang kurang lunak sekalipun.
Setidak-tidaknya ada 3 alasan mengapa Negara yang sedang berkembang
mencari bantuan luar negeri, yaitu :
a. Alasan yang utama dan yang
penting lebih merupakan alasan secara praktis dan konseptual bersifat
ekonomis. Karena Negara yang sedang berkembang cenderung mempercayai
pendapat ahli ekonomi Negara-negara maju. Yaitu bahwa bantuan luar
negeri merupakan obat pendorong dan stimulan bagi proses pembangunan,
turut membantu mengalihkan struktur ekonomi serta membantu Negara yang
sedang berkembang mencapai take off menuju pertumbuhan ekonomi yang
mandiri (self sustaining). Pada hakekatnya Negara yang sedang berkembang
menghendaki bantuan lebih banyak dalam bentuk hibah atau pinjaman
dengan tingkat bunga yang rendah dan tidak terikat dengan ekspor Negara
pemberi bantuan.
b. Alasan kedua adalah, menyangkut masalah politik.
Dibeberapa Negara, baik Negara penerima maupun Negara donor, bantuan
dipandang sebagai alat yang dapat memberikan kekuatan politik yang lebih
besar kepada pemimpin yang sedang berkuasa untuk menekan oposisi dan
mempertahankan kekuasaannya.dalam hal ini, bantuan tidak saja berbentuk
transfer sumber keuangan, akan tetapi juga dalam bentuk bantuan militer
dan pertahanan dalam negeri.
c. Alasan ketiga adalah, motivasi yang
dilandasi oleh moral, yaitu, apakah berlatarbelakang pada rasa
tanggungjawab kemanusiaan Negara kaya terhadap kesejahteraan Negara
miskin, atau karena kepercayaan, bahwa Negara-negara kaya merasa
berhutang budi karena eksploitasi dimasa penjajahan dahulu. Sehingga
bantuan luar negeri merupakan kewajiban social bagi Negara-negara kaya
untuk pembangunan Negara-negara miskin.
1.2 Latar Belakang Timbulnya Bantuan Luar Negeri di Indonesia
Kondisi
ekonomi dan politik Indonesia mengalami kondisi yang tidak stabil pada
periode 1950-1965, kondisi tersebut disebabkan oleh karena
kebijaksanaan pemerintah lebih difokuskan kepada politik dalam negeri
dan masalah militer, sehingga sangat kecil perhatian dan sumber daya
yang dicurahkan untuk pembangunan ekonomi.
Kesulitan dalam anggaran
membuat inflasi menjadi masalah utama, ditambah kesulitan dalam sistem
nilai tukar yang mengurangi keuntungan sektor perdagangan, menyebabkan
penyusutan. Sementara, pemberontakan serentak di Sumatera dan Sulawesi
tahun 1958 menyebabkan anggaran untuk militer membengkak, padahal
penerimaan ekspor dari dua pulau tersebut yang merupakan sumber daya
penting menurun. Monetisasi anggaran defist menaikkan rata-rata inflasi
dari 17% menjadi 25% di tahun 1950-57. pada periode selanjutnya kenaikan
inflasi semakin meninggi setiap minggunya, dan mencapai 65% dalam tahun
1966. pertumbuhan ekonomi yang lambat, 0,8% per tahun, dan evolusi
rasio ekspor/PDB jatuh dari 8,7% (1951-57) ke 6,8% (1958-61) dan menjadi
1,1% (1962-65) menjelaskan situasi perekonomian pada waktu itu.
Pendapatan masyarakat rata-rata per kapita hanya US $80 dan hutang luar
negeri yang harus dibayar berjumlah US $ 2.2 miliar. Ketidakstabilan
politik memperburuk ketidakstabilan ekonomi sehingga mempercepat
perpindahan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Jendral Soeharto.
Tugas
yang dibebankan oleh rakyat kepada pemerintah baru ini berdasarkan TAP
XXIII/MPR/1966, dalam program jangka pendek berupa pengendalian inflasi,
pencukupan kebutuhan pangan,rehabilitasi prasarana perekonomian, dan
peningkatan kegiatan ekspor. Tugas ini memberikan konsekuensi
diperlukannya dana yang besar, sementara dana yang dapat diharapkan dari
sumber-sumber dalam negeri antara lain hasil ekspor, yang pada saat itu
berada di keadaan yang tidak memungkinkan.
Untuk mengatasi kesulitan
tersebut maka pada tahun 1966 pemerintah Indonesia telah mengambil
kebijaksanaan untuk mengadakan konsolidasi, rehabilitasi, dan
stabilisasi serta memutuskan untuk mengadakan pendekatan ke luar negeri
dengan maksud :
1) Mengadakan penjadwalan kembali hutang-hutang lama,
2) Mengusahakan bantuan-bantuan keuangan yang baru dari luar negeri untuk mendukung neraca pembayaran Indonesia,
3) Berusaha menarik penanaman modal asing ke Indonesia.
Sebagai
realisasi kebijaksanaan tersebut, atas prakarsa pemerintah Jepang dalam
bulan September 1966 diadakan pertemuan multilateral yang pertama di
Tokyo, yang di kenal dengan Tokyo Club. Pertemuan itu dihadiri oleh IMF
dan wakil-wakil dari Negara kreditor yang akan membicarakan masalah
ekonomi dan keuangan yang dihadapi serta masalah hutang Indonesia.
Tokyo
Club dilanjutkan dengan Paris Meeting pada bulan Desember 1966, yang
berhasil mencapai kesepakatan kata untuk rescheduling pembayaran hutang
lama, dilanjutkan dengan pertemuan di Denhaag atas prakarsa pemerintah
Belanda, untuk membicarakan bantuan baru yang diperlukan Indonesia, pada
bulan Februari 1967, dan kemudian pertemuan itu dikenal dengan Inter
Governmental Group on Indonesia (IGGI). Dalam pertemuan itu dihadiri
oleh 11 negara anggota yaitu Australia, Amerika Serikat, Belgia,
Belanda, Indonesia, Italy, Jerman Barat, Jepang, Inggris, Perancis, dan
Kanada. Negara-negara yang hadir diluar anggota melainkan sebagai
peninjau antara lain Austria, Denmark, Norwegia, Selandia Baru dan
Swiss. Lembaga-lembaga Internasional yang hadir dan kemudian peranannya
besar sekali dalam pelaksanaan bantuan kepada Indonesia adalah
International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia (World Bank/IBRD), Asian
Development Bank (ADB), United Nation Development Programme (UNDP), dan
sebagai peninjau adalah OECD.
Pemerintah Indonesia telah menentuka
kriteria pokok, dengan maksud untuk menyelaraskan dengan politik luar
negeri yang bebas aktif sesuai dengan GBHN sebgai berikut :
1) Bahwa bantuan luar negeri tidak boleh dikaitkan dengan ikatan politik,
2) Bahwa syarat pembayaran harus dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali,
3) Bahwa penggunaan bantuan luar negeri haruslah untuk pembiayaan proyek-proyek yang produktif dan bermanfaat.
Forum
IGGI ini merupakan suatu kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk
menjelaskan program pelaksanaan pembangunan untuk masa mendatang serta
hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya. Forum IGGI diadakan setiap
tahun di Denhaag. Bantuan dalam rangka IGGI dimaksudkan sebagai dana
pelengkap untuk dana pembangunan Indonesia, yang pada dasarnya
pembangunan tersebut harus bersumber pada kemampuan dana dalam negeri.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam GBHN, TAP MPR-RI No.IV/MPR/1978, hal.18, antara lain dinyatakan :
“
Pembangunan nasional memerlukan investasi dalam jumlah yang besar, yang
pelaksanaanya harus berlandaskan kemampuan sendiri, sedangkan bantuan
luar negeri merupakan pelengkap. Oleh karena itu diperlukan usaha yang
sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana-dana investasi yang bersumber
pada tabungan masyarakat, tabungan pemerintah serta pengerahan devisa
yang berasal dari ekspor dan jasa-jasa. Pengerahan dari dana-dana
investasi tersebut harus ditingkatkan dengan cepat sehingga peranan
bantuan luar negeri merupakan pelengkap semakin berkurang dan pada
akhirnya mampu membiayai sendiri seluruh pembangunan “.
1.3 Perkembangan Hutang Luar Negeri Indonesia
Sampai
saat ini pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia yang terus meningkat
adalah upaya guna menutup anggaran Negara yang selalu deficit kecuali
tahun anggaran 1979/80 dan 1980/81. Hal ini terjadi karena sumber-sumber
dana dalam negeri tidak mampu membiayai seluruh pembiayaan pembangunan,
terutama masih rendahnya tabungan pemerintah.
Sejak tahun 1967
Indonesia telah menerima pinjaman dengan syarat lunak atau dalam bentuk
sumbangan (grant) dari Negara-negara dan lembaga keuangan Internasional
yang bergabung dalam IGGI. Tahun 1967 bantuan yang diterima berjumlah
US$ 200 juta. Selama Pelita I pemerintah mengusahakan pinjaman berbentuk
bantuan prigram yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan
pangan, serta bantuan proyek dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak,
yaitu 3% setahun, waktu tenggang 7-10 tahun dan jangka waktu pelunasan
25-50 tahun atau dalam bentuk sumbangan.
Bantuan devisa kredit dan
pangan merupakan sumber bagi pembiayaan barang modal, bahan baku, dan
pangan yang diperlukan untuk menstabilkan ekonomi. Bantuan proyek
berbentuk pembiayaan untuk berbagai proyek prasarana di bidang ekonomi
maupun social. Pinjaman pemerintah yang disetujui dalam tahun 1968
berjumlah US$ 292,3 juta dan bantuan proyek US$ 71,0 juta. Dari bantuan
program itu US$ 188.9 juta terdiri dari devisa kredit dan US$ 103,4 juta
berupa pangan. Sedangkan dalam tahun 1968 itu bantuan proyek masih jauh
lebih kecil daripada bantuan program.
Sampai dengan 1974/75
persetujuan pinjaman luar negeri pemerintah hanya berupa bantuan program
dan bantuan proyek yang bersyarat lunak. Dengan pertimbangan hendak
mempercepat laju pertumbuhan, pemerintah sejak 1974/75 mulai menjajaki
kemungkinan memperoleh pinjaman dengan syarat yang kurang lunak. Usaha
tersebut direalisasikan dalam tahun 1975/76 dengan disetujuinya pinjaman
proyek dengan persyaratan setengah lunak komersial sebesar US$ 2.316,4
juta yang terutama berbentuk kredit ekspor. Pinjaman proyek bersyarat
setengah lunak dan komersial kemudian turun menjadi US$ 719,7 juta pada
tahun 1973/74-1974/75 telah mengganggu posisi neraca pembayaran,
sehingga untuk memperkuat cadangan devisa sangat diperlukan pinjaman
tunai. Untuk tujuan tersebut maka dalam tahun 1975/76 telah diadakan
persetujuan pinjaman tunai sebesar US$ 4.503 juta. Selanjutnya sejak
1978/79 Indonesia juga telah memasuki dunia keuangan internasional
melalui penerbitan obligasi dan kertas-kertas berharga lainnya serta
pinjaman komersial, sehingga pada tahunterakhir Pelita II pinjaman tunai
berjumlah US$ 536.4 juta. Dengan demikian jumlah seluruh pinjaman
pemerintah pada 1978/79 menjadi US$ 2.933,0 juta, hal dimana berarti
bahwa selama Pelita II pinjaman luar negeri tiap tahun bertambah dengan
rata-rata 27,8%. Pada tahun 1978/79 peranan bantuan turun menjadi 3,8%
dari total pinjaman, bantuan serta pinjaman bersyarat setengah lunak dan
komersial untuk proyek naik 77,9% dan peranan pinjaman tunai mencapai
18,3%.
Selama Pelita III persetujuan pinjaman pemerintah meningkat
pada tahun 1983/84 menjadi US$ 4,528,6 juta. Dari jumlah pinjaman
pemerintah tersebut, maka 49,6% berbentuk pinjaman bersyarat lunak,
20,2% berupa pinjaman proyek dengan syarat setengah lunak dan komersial,
dan 30,4% berbentuk pinjaman tunai.
Perkembangan pinjaman luar
negeri pada Repelita IV menunjukkan kenaikan yang cukup mencolok,
terutama pada tahun 1985/86 dengan jumlah pinjaman luar negeri yang naik
sebesar 15,5%, yaitu dari US$ 4.579,1 juta tahun 1984/85 menjadi US$
5.289,4 juta pada tahun 1986/87. Dan selama tiga tahun pertama
pelaksanaan Repelita V, persetujuan (commitment) pinjaman luar negeri
pemerintah adalah sebesar US$ 6.753.2 juta pada tahun 1989/90, naik
menjadi US$ 7.067,1 juta pada tahun 1990/91 dan meningkat lagi menjadi
US$ 7.853,9 juta pada tahun 1991/92.
Dari bantuan luar negeri yang di
terima pemerintah sejak Repelita I, dan yang terbesar di terima dari
lima besar yaitu Amerika Serikat (IDA, World Bank, Bantuan Program, Food
Aid, dan Technical Assistance, Asian Development Bank (ADB)), Jepang
(OECF, JEXIM, JICA), Belanda dan Jerman Barat yang jumlahnya mencapai
US$ 82,8% dari jumlah yang di terima selama Repelita I yang
keseluruhannya mencapai US$ 3.487,3. Hingga saat ini Lima Besar tersebut
merupakan Negara-negara yang memberikan bantuan tersbesar.
1.4 Pelunasan Hutang Luar Negeri
Indonesia tercatat hanya satu kali meminta rescheduling pembayaran
hutang-hutang lamanya, yaitu pada masa awal Orde Baru, berdasarkan
rekomendasi Dr. Herman J Abs, sebagai berikut:
a) Pokok hutang (US$ 1,7 milyar) akan dibayar kembali dalam jangka waktu 30 tahun (1970-1999),
b) Untuk penanggulangan ini tidak dikenakan bunga baru (moratorium),
c) Bunga yang lama (US$ 400 juta) akan di bayar kembali dalam 15 tahun mulai tahun 1985,
d)
Selama 8 tahun pertama sebagian dari jumlah yang seharusnya di bayar
dapat ditangguhkan sampai 8 tahun terakhir dari periode 30 tahun
tersebut,
e) Sesudah tahun 1980 akan diadakan peninjauan kembali dan
tergantung kepada keadaan ekonomi Indonesia waktu itu maka pembayaran
kembali dapat dipercepat atau sebaliknya dapat pula pembayaran bunga
dikurangi atau dihapuskan.
Kata sepakat yang tercapai mengenai
rescheduling ini, kemudian dituangkan dalam persetujuan bilateral dengan
masing-masing Negara. Dalam persetujuan bilateral ini, Indonesia
memegang teguh prinsip non-diskriminasi.
Sehingga sejak tahun 1970-an
pemerintah telah mulai mengangsur pelunasan hutang-hutang luar negeri
(hutang sebelum dan sesudah tahun 1966) sesuai dengan perjanjian /
persyaratan yang telah ditetapkan. Dalam hubungan ini pemerintah
senantiasa berusaha memenuhi kewajiban dalam pembayaran bunga dan
cicilan hutang luar negeri sesuai dengan jadwal waktu pembayaran yang
telah ditetapkan.
Pada kenyataannya, sejak tahun 1985, prestasi
Indonesia sebagai peminjam yang baik, yang selalu tepat waktu dalam
membayar cicilan hutangnya, dicapai dengan menyedot sumber dana dari
dalam negeri dalam bentuk transfer netto modal keluar. Pembayaran
cicilan tersebut dapat dilakukan tepat waktu dengan cara menekan
pengeluaran dalam negeri pemerintah, ‘surplus’ dari hasil pengetatan
konsumsi dalam negeri dan pengeluaran pemerintah itulah yang
dipergunakan untuk ‘membiayai’ cicilan hutang dan transfer netto modal
keluar. Pembayaran hutang luar negeri membawa dampak yang cukup besar
terhadap pengeluaran netto pemerintah, yaitu total pengeluaran dikurangi
cicilan hutang. Pengetatan pengeluaran pemerintah dan usaha-usaha
meningkatkan pendapatan pajak belum berhasil meningkatkan pengeluaran
netto pemerintah sejak tahun 1985 karena beban cicilan hutang yang
semakin besar.
Ketika pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
semakin meningkat, dan pemerintah mengetatkan pengeluarannya, maka
jalan yang ditempuh adalah dengan mengurangi investasinya secara
sistematis, mengambil langkah untuk mengurangi berbagai jenis subsidi,
dan mendorong partisipasi swasta dalam pendanaan dan implementasi
proyek-proyek pembangunan. Untuk menarik minat investasi swasta,
pemerintah telah melakukan berbagai pentederhanaan regulasi dan
birovestasi.
Pada sisi pendapatan, pemerintah juga telah melakukan
reformasi system perpajakan sejak tahun 1984. sebagai akibat dari
perbaikan sistem perpajakan tersebut, telah terjadi pengingkatan pajak
non-minyak bumi yang cukup berarti. Sebagian besar dari peningkatan
pajak tersebut berasal dari peningkatan pajak nilai tambah (VAT)
terutama pajak nilai tambah terhadap konsumsi produk-produk minyak bumi.
Salah
satu aspek penting yang bisa mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk
membayar cicilan hutang adalah struktur pemilikan hasil ekspor
Indonesia. Sejak tahun 1986, telah terjadi perubahan struktur pemilikan
pendapatan ekspor Indonesia. Sebelum tahun 1986, sebagian besar ekspor
Indonesia, berasal dari ekspor migas, sehingga pendapatan ekspor menjadi
milik pemerintah Indonesia. Setelah tahun 1986, makin besar porsi
ekspor non-migas dalam keseluruhan ekspor Indonesia. Hanya sebagian
kecil dari pendapatan ekspor non-migas yang masuk ke kas Negara melalui
mekanisme perpajakan. Perubahan struktur pendapatan ekspor tersebut
mempunyai implikasi terhadap kemampuan pemerintah dalam membayar cicilan
hutang karena pendapatan pemerintah dari ekspor migas semakin kecil,
diperlukan pengetatan pengeluaran dan peningkatan pajak yang relative
lebih besar. Hal ini merupakan dilemma baru buat pemerintah Indonesia.
1.7 Beban Hutang Luar Negeri Indonesia
Indikator
yang umum digunakan untuk mengukur beban hutang luar negeri dalam
hubungannya dengan ekonomi nasional ialah debt service ratio (DSR),
yaitu perbandingan antara pembayaran setiap tahun cicilan hutang luar
negeri beserta bunganya (pemerintah dan swasta) dengan penerimaan ekspor
bruto dalam tahun yang bersngkutan. Menurut Sumitro Djojohadikusumo
dengan perkiraan CPS memperhitungkan angka DSR Indonesia dengan
memasukkan variable penerimaan jasa (credit post) terutama dari
pariwisata (yang terus meningkat) pada penerimaan ekspornya, selain
migas dan non-migas. Hasilnya DSR Indonesia sudah mencapai 36,8 bahkan
naik menjadi 40,7 pada tahun 1988. meingkatnya DSR ini disebabkan karena
sudah banyaknya hutang-hutang lama yang jatuh tempo, disamping karena
jatuhnya harga minyak bumi selama tahun 1986 dan tertekannya harga
komoditi primer lainnya, serta perkembangan nilai mata uang dollar
Amerika terhadap yen Jepang dan Mark Jerman (Currency Realignment).
Perubahan nilai tukar dollar AS terhadap mata uang kuat Negara-negara
lain berimplikasi pada :
1) Menyebabkan turunnya harga-harga (dalam
dollar AS) ekspor utama Negara-negara industri. Disamping itu, indeks
biaya impor Negara-negara berkembang (dalam dollar AS) juga mengalami
penurunan. Ini terlihat selama periode 1980-85.
2) Bagi Indonesia
ketidakseimbangan dari komposisi (share) mata uang dalam ekspor dan
impor berarti melemahkan terms of trade, sebab antara 80-90% perolehan
didominasi dalam mata uang dollar AS.
3) Pengaruhnya bagi nilai
hutang luar negeri Indonesia sampai akhir tahun 1985, lebih kurang 60%
dari pembayaran hutang luar negeri Indonesia dilakukan dengan mta uang
non dollar AS.
Beban hutang yang sedemikian besar merupakan
adalah kecenderungan yang terjadi dibeberapa Negara berkembang. Bagi
Indonesia, dampak dari angka DSR yang terus membesar dapat menimbulkan
tekanan masalah, terutama jika diikuti dengan kesalahan dalam upaya
penanggulangan deficit neraca pembayaran. Angka beban kewajiban
pembayaran hutang ini pada dasarnya mencerminkan hubungan antara ketiga
komponen dalam neraca pembayaran, yaitu neraca lalu lintas barang, lalu
lintas jasa, dan lalu lintas modal.
Sementara itu menurut Sritua
Arief dan Adi Sasono, kendatipun indicator DSR dapat dipergunakan
sebagai petunjuk mengenai sampai seberapa jauh beban hutang luar negeri
sudah dapat dianggap kritis dalam hubungannya dengan perkembangan
ekonomi nasional, indikator ini dianggap sebagai indikator yang sangat
sederhana. Oleh karena indicator ini semata-mata didasarkan kepada
variabel-variabel transaksi hubungan ekonomi internasional dan tidak
secara langsung mempertimbangkan variabel-variabel makro didalam negeri.
Menurut mereka, selain dengan DSR, sebaiknya memperhitungkan juga
variabel-variabel ekonomi dalam negeri untuk mengukur beban hutang luar
negeri suatu Negara. Untuk itu mereka memakai formulasi yang dikemukakan
oleh Liviatan dan Massad. Liviatan mengemukakan suatu indicator yang
lebih komprehensif dengan memperhitungkan variabel-variabel ekonomi
didalam neheri seperti investasi dan konsumsi. Menurut Liviatan, dua
kondisi dasar yang harus dikandung oleh suatu pendekatan makro mengenai
penentuan indicator beban hutang luar negeri suatu Negara ialah :
1) Indikator itu bersifat kuantitatif,
2)
Indikator itu dapat menunjukkan titik yang kritis diatas titik dimana
suatu Negara diramalkan akan menunda pembayaran hutang luar negeri atau
menjadwalkan kembali pembayaran hutang luar negerinya.
Dengan dua langkah tersebut, indikator beban hutang luar negeri diformulasikan sebagai berikut :
Dt
Bt =
Zt
Dimana
Bt = Beban hutang luar negeri tahun t, angka kritis menunjukkan angka
1. dengan kata lain, nilai maksimal beban hutang luar negeri (Bt) yang
dapat ditanggung oleh suatu Negara ialah 1.Dt = pembayaran cicilan dan
bunga hutang luar negeri pada tahun t.
Dengan memodifikasi formulasi
di atas Sritua Arief dan Adi Sasono memperhitungkan beban hutang luar
negeri Indonesia, berdasarkan data BPS, ternyata diperoleh untuk
Indonesia, B1985 = 1,24 dan B1986 = 1.37. Ini berarti bahwa beban hutang
luar negeri Indonesia sudah melampaui angka kritis, yaitu lebih dari 1.
Sementara
itu Massad memperhitungkan biaya riil cicilan dan bunga hutang luar
negeri akibat terjadinya perubahan dalam terms of trade dengan rumus :
Dt (1-Lt)
Qt =
Lt
Dimana Dt = jumlah pembayaran cicilan dan bunga hutang luar negeri tahun t, dan Lt = indeks terms of trade.
Berdasarkan
rumus diatas, dengan menggunakan data t.o.t dengan basis tahun 1983,
pembayaran cicilan hutang luar negeri sektor resmi pemerintah beserta
bunganya dan besar nilai hutang luar negeri sektor resmi yang sudah
digunakan pada setiap tahun, diperoleh angka surcharge positif sebesar
0,5% pada tahun 1984, 1,02% untuk tahun 1985 dan sebesar 9,03% di tahun
1986. Angka-angka ini menunjukkan bahwa Indonesia telah terpaksa
menggunakan lebih banyak sumber-sumber ekonominya untuk melaksanakan
pembayaran cicilan hutang luar negeri beserta bunganya di sektor resmi
pemerintah.
1.8 Kondisi Overborrowing
Menurut catatan
Bank Dunia total hutang luar negeri Indonesia sampai tahun 1990
berjumlah US$ 67,908 milyar (World Development Report, 1992 : 258). Hal
ini berarti terjadi kenaikan hampir tiga kali dalam 10 tahun terakhir
(1980-1990). Maka, bila pada 1984 Indonesia merupakan Negara ke-6
terbesar di dunia dalam jumlah hutang (WDR 1986 : 208), pada tahun 1990
Indonesia menduduki posisi ke-4. Bahkan pada akhir tahun 1991 jumlah
hutang luar negeri Indonesia telah meningkat menjadi US$ 78 milyar,
jumlah ini terdiri dari hutang sector pemerintah (termasuk BUMN)
kira-kira US$ 55 milyar dan hutang sector swasta US$ 23 milyar
(Wadhana,1992).
Besarnya hutang luar negeri Indonesia dewasa ini
dikhawatirkan dapat menjerumuskan Indonesia ke dalam Debt Crisis seperti
yang pernah dialami oleh Negara Meksiko, Brazil, dan Argentina (MBA).
Sekitar awal 80-an, dimana mereka tidak mampu lagi memenuhi kewajiban
pembayaran hutang. Kondisi Debt Crisis yang dialami Negara-negara
tersebut disebabkan karena hutang luar negeri mereka yang di atas ambang
batas (Overborrowing). Bila terjadi sesuatu terhadap perekonomian
internasional, seperti kenaikan tingkat bunga secara tiba-tiba, maka
perekonomian Negara-negara yang overborrowing sangat berpengaruh.
Parameter yang sering dipakai dalam mengukur kondisi overborrowing ini
adalah Debt Service Ratio (DSR) dengan ukuran normal 20%. Menurut John
Williamson indicator overborrowing lainnya adalah Debt Export Ratio
(DER), yaitu perbandingan antara jumlah hutang luar negeri dengan
ekspor, ukuran yang baik adalah kurang dari 200%, dan Debt GNP Ratio
(DGNPR), yaitu perbandingan antara jumlah hutang luar negeri dengan GNP,
ukuran yang baik adalah berada dibawah 40%. Di bawah ini data Indikator
Overborrowing Hutang Luar Negeri Indonesia selama 1985-1990 :
Tahun Total Hutang
(juta dolar AS) DSR
(1) DER
(2) DGNPR
(3)
1985 36,750 29,6% 181,9% 45,0%
1986 43,117 35,7% 268,8% 60,3%
1987 52,581 37,8% 278,4% 80,9%
1988 52,600 43,7% 246,6% 69,0%
1989* 53,111 35,2% 210,7% 59,4%
1990* 67,908 30,9% 229,4% 66,4%
Note : * Tahun 1989 dan 1990 berasal dari World Development Report, 1992 ; 1991.
SUMBER
: World Debt Tables, 1989-1990, dikutip dari Faruk Abdullah Alwy,
“Hutang Luar Negeri Indonesia : Antara Debt Trap dan Debt Crisis”,
Republika, 10 Juni 1993, hal. 4.
Dari data di atas terlihat
bahwa sejak 1985 hutang luar negeri Indonesia mulai mendekati kondisi
Overborrowing, dimana dua indicator yang ada, DSR dan DGNPR telah
melawati batas toleransi, dan pada tahun 1986 hutang luar negeri
Indonesia praktis telah overborrowing dan kondisi tersebut berlanjut
sampai akhir tahun 1991, bahkan menurut data terakhir, tahun 1991 DGNPR
Indonesia meningkat menjadi 71,7%. Sampai akhir 1992, ketiga indicator
tersebut belum ada kecenderungan untuk menurun, bahkan terus bertambah
jika melihat ketergantungan Indonesia kepada hutang luar negeri (DSR
pada akhir 1992 mencapai 32%).
Semakin meningkatnya perbandingan
antara total hutang dengan GNP, seperti yang ditunjukkan oleh indicator
DGNPR menunjukkan bahwa pertambahan hutang luar negeri terus melampaui
kemampuan produksi Indonesia. Ditambah hasil ekspor Indonesia yang
seharusnya dapat lebih memacu pertumbuhan ekonomi, justru harus
ditransfer lagi untuk membayar cicilan hutang dan bunga yang terus
membesar. Meskipun begitu Indonesia oleh Bank Dunia tidak dianggap
sebagai Negara yang “sarat hutang” melainkan hanya dianggap Negara yang
“berhutang sedang”. Dengan demikian otomatis Indonesia tidak
dikhawatirkan mengalami Debt Crisis. Bahkan Indonesia terus diberikan
pinjaman besar disamping pujian terhadap perekonomiannya. Dalam hal ini
yang perlu di perhatikan adalah bahwa kasus Debt Crisis pada
Negara-negara MBA, terjadi ketika mereka menyatakan ketidakmapuannya
untuk membayar hutang. Jadi, penilaian Debt Crisis tidak dinilai dari
beban hutang Negara debitur maupun besarnya hutang, melainkan dilihat
dari ketaatan suatu Negara untuk membayar cicilan hutangnya. Karena itu
selama cicilan hutang plus bunganya selalu ditaati oleh Indonesia, maka
tidak akan disebut sebagai Negara yang mengalami Debt Crisis, bahkan
disebut sebagai good borrowers (peminjam yang baik).
sumber :
http://kartikautami27.blogspot.com/2011/05/bantuan-luar-negeri-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar