PEMBIAYAAN
AGRIBISNIS
PENDAHULUAN
Departemen Pertanian menaruh
prihatin terhadap pembiayaan agribisnis di Indonesia. Keprihatinan itu
disebabkan beberapa alasan:
Pertama,
tidak adanya lembaga keuangan yang khusus menangani pembiayaan pertanian.
Kedua,
realisasi Kredit Ketahanan Pangan (KKP) untuk para petani masih rendah, tidak
sesuai rencana.
Ketiga,
anggaran pembangunan nasional untuk sektor pertanian masih rendah. Dari Rp 47
triliun anggaran pembangunan dalam APBN, hanya Rp 6,6 triliun yang dialokasikan
untuk pembangunan sektor pertanian. Padahal, alokasi dana APBN untuk
rekapitalisasi perbankan saja mencapai Rp 60 triliun. Di lain pihak,
keberpihakan lembaga keuangan formal terhadap sektor pertanian juga masih
rendah. Bank lebih memperhatikan sektor industri. Tahun 2000, kredit perbankan
kepada sektor pertanian hanya 6,2%, sementara untuk industri 34,2%, perdagangan
14,4%, dan jasa-jasa 37,4%.
Berdasarkan kenyataan tersebut,
Departemen Pertanian bertekad mencanangkan Gerakan Nasional Menabung untuk pembiayaan
agribisnis yang diresmikan Presiden.
PENDANAAN
Ada kontradiksi, di satu sisi
pembiayaan sektor pertanian mengalami kesulitan, di sisi lain BRI Unit Desa
melalui Simpedes dan Simaskot berhasil mengumpulkan tabungan Rp 21 triliun.
Namun, dari dana sebesar itu yang disalurkan kembali hanya Rp 11 triliun.
Sementara itu, penelitian Prof. Dr.
Mubyarto di Lamongan, Jawa Timur menyimpulkan suatu hipotesa bahwa ratio PDRB
sektor keuangan bank dengan non bank 1 : 50. Dana yang beredar pada lembaga
keuangan non bank lima puluh kali lebih besar dibandingkan yang beredar pada
lembaga keuangan bank. Sehingga, jumlah dana yang tersedia di masyarakat, baik
yang terhimpun dalam lembaga keuangan bank maupun non bank secara hipotesis
minimal berjumlah Rp 126 triliun.
Dari kenyataan tersebut dapat
dikatakan bahwa kita sebetulnya tidak kekurangan dana. Kita memiliki dana
cukup, baik yang dikumpulkan melalui lembaga keuangan Bank maupun Non Bank.
Persoalan kita adalah Bukan
Bagaimana Mengumpulkan Dana, Tetapi Bagaimana Mengakses Dana.
Namun demikian, gagasan mengadakan
Gerakan Nasional Menabung untuk pembiayaan agribisnis bukanlah ide buruk, namun
gerakan semacam itu harus disertai upaya memberdayakan petani kecil agar mampu
mengakses sumber keuangan.
STRATEGI PEMBIAYAAN
Kita seringkali memilah sektor usaha
ke dalam UKM (Usaha
Kecil dan Menengah) dan Usaha Besar (konglomerat). Pemilahan ini berarti
tersisihnya usaha mikro dari perhatian kita. Karena itu, kami mengusulkan agar
istilah UKM diubah menjadi Usaha Kecil dan Mikro. Ini diperlukan untuk
memberikan penekanan yang lebih besar pada pengembangan usaha mikro yang sering
disebut sebagai ekonomi rakyat. Sementara usaha menengah, sesuai dengan
karakteristiknya, lebih baik digabungkan dengan kelompok usaha besar: Usaha Menengah
dan Besar (UMB).
Menurut PNM (Permodalan Nasional
Madani) jumlah usaha mikro di Indonesia mencapai 34 juta unit, sementara usaha
kecil mencapai 45.000 unit. Rata-rata kebutuhan dana untuk usaha mikro adalah
Rp 1 juta per unit usaha sementara untuk usaha kecil sebesar Rp 50 juta, dan
usaha menengah Rp 1,5 milyar.
Kategorisasi seperti ini sangat baik
untuk digunakan dalam perumusan strategi pembiayaan agribisnis.
A. Usaha Kecil dan Mikro (UKM)
Pembiyaan agribisnis untuk UKM
sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada, baik bank maupun
non bank. LKM bank antara lain BRI Unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Saat ini BRI Unit Desa memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar di seluruh
pelosok Indonesia, semantara BPR tercatat berjumlah 2.500 unit. Dari kedua LKM
ini saja sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang melayani pengusaha kecil dan
mikro. LKM non bank adalah seperti koperasi simpan pinjam (59.441), Badan
Kredit Desa (5.345), dan lembaga swadaya masyarakat (500), termasuk kelompok swadaya
masyarakat (800.000). Jumlah LKM non bank ini jauh lebih besar dibandingkan
dengan LKM bank.
Yang harus dilakukan sekarang ini
adalah mendorong pengembangan LKM. Selama ini LKM non bank, selain koperasi,
memiliki kesulitan dalam legitimasi operasionalnya. LKM non bank (kecuali
koperasi) tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas atau beroperasi tanpa
dasar hukum. Saat ini beberapa pihak di bawah koordinasi Bank Indonesia telah
mempersiapkan RUU Keuangan Mikro untuk memberikan legitimasi keberadaan LKM.
Karena itu, dalam rangka mencari solusi pembiayaan agribisnis, RUU KM ini
perlu didorong lebih kuat agar mendapat perhatian pihak terkait,
terutama DPR, untuk menjadi UU KM.
Untuk kelompok UKM ini, maka
strategi pembiayaannya adalah melalui pola HBK (Hubungan Bank dengan
Kelompok Swadaya Masyarakat) yang telah dikenalkan oleh Bank Indonesia tahun
1988, dan terbukti berjalan baik. Program HBK ini sangat menarik dan merupakan
terobosan dimana bank melayani masyarakat kecil (melalui kelompok) yang tidak
memiliki jaminan fisik dan kelembagaan formal. Pihak bank diuntungkan dalam
hal:
a)
mengurangi biaya transaksi, yang bila dilakukan sendiri-sendiri terlalu tinggi
dan tidak sebanding dengan nilai kredit yang diberikan;
b)
melalui sistem collateral substitute berupa tanggung renteng dan adanya social
pressure dalam kelompok memungkinkan terjaminnya keamanan kredit yang
diberikan.
Bagi kelompok swadaya masyarakat
(KSM) atau Kelompok Tani, adanya program HBK memungkinkan mereka berhubungan dengan
bank, yang selama ini tidak ada akses ke sana.
Melalui program HBK dimungkinkan
terjadinya kapitalisasi di perdesaan, apalagi dengan diberlakukannya sistem
rasio tabungan : pinjaman sebesar 1 : 5. Dengan demikian telah membalikkan
keadaan, keberadaan perbankan dianggap “menyedot” dana-dana dari desa ke kota.
HBK merupakan langkah praktis yang terbaik dalam hal pelayanan keuangan mikro
di Indonesia. Yang kini harus dilakukan adalah memperluas cakupan HBK ke semua
wilayah Indonesia, dan menjadi bagian strategis dalam pembiayaan agribisnis.
Pola seperti ini bisa berjalan baik
kalau didukung oleh kegiatan pendampingan. Sebetulnya, dalam hal ini PPL yang
sudah ada saat ini menjalankan fungsi pendampingan ini. Namun, untuk menjaga
keberlanjutan pendampingan tersebut, diperlukan terobosan baru melalui konsep
Pendampingan Mandiri. Para PPL se-kecamatan bergabung dalam Lembaga
Pendampingan Usaha Mikro (LPUM) yang menjadi penghubung antara kelompok swadaya
masyarakat (Kelompok Tani) dengan bank. Perannya sebagai penghubung inilah
pendamping memperoleh imbalan jasa yang dapat menopang hidupnya. Di sini PPL
tidak hanya menggeluti teknis pertanian, tetapi juga mengembangkan usaha para
petani. Untuk itu perlu upaya penguatan PPL dan kelembagaan LPUM dengan
pelatihan dan pengorganisasian.
B. Usaha Menengah dan Besar (UMB)
Untuk Usaha Menengah dan Besar di
sektor pertanian, strategi pembiayaannya antara lain dengan mengharuskan bank,
baik itu bank pemerintah maupun swasta, agar mengalokasikan sebagian dari
portofolio kreditnya (misalnya 20 - 30%) untuk agribisnis, dari hulu sampai
hilir. Untuk mencapai hal ini, maka perlu ada dorongan yang kuat agar RUU
Perkreditan yang sedang dipersiapkan di DPR saat ini segera diselesaikan.
Gagasan mendirikan bank khusus untuk
pertanian, menurut kami tidak proporsional, karena pembiayaan agribisnis tidak
bisa hanya ditangani satu bank, tetapi harus dilayani semua bank yang ada.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Dari ulasan singkat di atas dalam
upaya menjamin tersedianya pembiayaan agribisnis secara efektif, dapatlah
disampaikan Rekomendasi Kebijakan sebagai berikut:
1)
Memberdayakan kelompok swadaya masyarakat dan kelompok tani menjadi lembaga
keuangan mikro informal.
2)
Memberdayakan PPL menjadi pendamping kelompok tani/kelompok swadaya masyarakat di
bidang usaha dan pembiayaan, serta membentuk LPUM (Lembaga Pendampingan Usaha
Mikro) di tingkat kecamatan.
3)
Menerapkan pola HBK (Hubungan Bank dengan Kelompok) untuk menjamin pembiayaan
usaha tani kecil.
4)
Mengadakan Gerakan Nasional Tabungan untuk pembiayaan agribisnis.
5)
Memastikan Lembaga Keuangan Bank mengalokasikan portofolio kredit untuk UKM
(Usaha Kecil dan Mikro) dan UMB (Usaha Menengah dan Besar) di bidang agribisnis
dengan memberlakukan Undang-Undang Perkreditan dan Undang-Undang Keuangan Mikro.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut